JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kerjasama proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur.
Tiongkok memiliki kemampuan teknologi dan finansial untuk mendukung proyek tersebut.
Namun timbul masalah dalam praktek kerja sama tersebut.
Penjelasan ini disampaikan pengamat Tiongkok dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rudolf Yuniarto.
“Mungkinkah kita terjebak masuk ke dalam jebakan utang. ‘Kan dana-dananya dari konsorsium yang dibangun oleh pihak Tiongkok dan penyertaan modal dalam negeri. Itu semua utang,” terangnya seperti dikutip dari VOA pada Senin (11/4/2023).
Dia melanjutkan,”Kalau utang ‘kan beban. Pertanyaannya siapa yang akan menanggung beban ini?”
Dia menilai pilihan Presiden Joko Widodo untuk menggandeng Tiongkok cukup baik secara konteks politik.
Sebab untuk saat ini yang paling rasional memberikan kemudahan-kemudahan dalam hal teknologi, finansial, dan kecepatan untuk merampungkan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung adalah Tiongkok.
Tetapi Rudolf menilai perencanaannya tidak matang. Ada persoalan yang tidak diperhitungkan kemudian muncul belakangan. Dia mencontohkan kenaikan harga tanah.
Dia menilai kasus kereta cepat ini menunjukkan pemenuhan ambisi politik ketimbang kebutuhan mendasar kepentingan transportasi, mobilitas manusia, dan barang.
Kenaikan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung sebelumnya diungkapkan Pemerintah. Pemerintah tengah menegosiasikan pinjaman atau utang dari CDB (Bank Pembangunan Tiongkok).
Kenaikan biaya proyek kereta cepat tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 Februari lalu.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara II Kartika Wirjoatmodjo menyampaikan kenaikan biaya yang disepakati dengan pemerintah Tiongkok sebesar 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 18,6 triliun. ***