Kopi Pagi

Pamer Kemewahan

Kamis 30 Mar 2023, 06:20 WIB

“Sangat tidak berperasaan, di saat orang lain sedang terbelit kesulitan ekonomi, malah menebar kemewahan seolah ikut menertawakan yang pada akhirnya dapat memperlebar jurang kesenjangan sosial.”
-Harmoko-

 
 Gaya hidup mewah, hedon, belakangan kian menjadi sorotan. Ini lebih menyangkut kepada etika dan adab budaya, lebih – lebih pada situasi ekonomi dunia yang masih diwarnai awan gelap, di tengah beragam ancaman krisis, termasuk negeri kita.

Hidup mewah memang tidaklah dilarang. Memiliki rumah megah, mobil, tas, sepatu dan jam tangan mewah, tidaklah salah.Yang salah, jika semua yang dilakukan itu  menjadi tujuan utama hidupnya, apalagi, untuk memperolehnya dengan menghalalkan segala cara.

Pada situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, di saat beban ekonomi keluarga yang semakin berat, utamanya masyarakat kurang mampu, rasanya tidak etis mempertontonkan kemewahan di ruang ruang publik. Ini tak ubahnya pamer  kemewahan di tengah penderitaan, yang dapat memperlebar jurang kesenjangan.

Menjadi ironi, jika yang memamerkan kemewahan itu adalah keluarga pejabat, yang semestinya meneladani pola hidup sederhana dalam kehidupan bermasyarakat.

Pola hidup sederhana, tak sebatas ajaran etika, tetapi nilai – nilai luhur budaya bangsa yang  hendaknya diamalkan dalam kehidupan sehari – hari.

Begitu pentingnya perilaku sederhana, maka para pendiri negeri ini menyarikannya ke dalam falsafah bangsa kita, Pancasila, agar menjadi tuntunan sepanjang masa.

Anjuran agar tidak boros dan tidak bergaya hidup mewah seperti dirumuskan  dalam butir- butir sila kelima Pancasila, merupakan cerminan dari pola hidup sederhana sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Membeli barang – barang mewah, sebatas gengsi, untuk dipamerkan di media sosial, sementara barang itu sendiri sejatinya tidak dibutuhkan dalam hidupnya, hanya ditumpuk dalam lemari. Inilah yang disebut tidak berperilaku hidup sederhana, tetapi cenderung boros dan bergaya hidup mewah.

Memprihatinkan jika gaya hidup seperti ini dipelopori oleh keluarga dan pejabat negeri. Ini jelas tak selaras dengan nilai – nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila karena dapat menebarkan embrio munculnya kecemburuan sosial.

Lantas bagaimana dengan revolusi mental yang selama ini digalakkan? Jawabnya bisa beragam, tetapi revolusi mental sepertinya belum sepenuhnya mencapai target sebagaimana diharapkan.  

Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, akan semakin jauh dari kemakmuran dan keadilan sosial, jauh dari cita – cita negeri ini didirikan.

Karena itu, sangat tidak berperasaan, di saat orang lain kesusahan, terlilit kesulitan ekonomi, sebagian orang pamer dengan mempertontonkan kemewahan seolah ikut menertawakan derita orang lain.

Seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini, agama apa pun mengajarkan kepada umatnya untuk hidup sederhana, tidak boros, tidak riya, tidak pula mengada – adakan.

Dalam filosofi Jawa dikenal “urip sak madyo” – hidup seadanya, secukupnya, sepantasnya, dan sewajarnya.

Patut diingat, sak madyo bukan berarti hidup miskin ( tidak berharta benda). Tetapi bagaimana menata diri agar hidupnya tidak berlebihan. Dapat membatasi diri dengan perbuatan semestinya, bukan yang tidak semestinya. Ora ngoyo, ora neko – neko (tidak terlalu berlebihan - di luar batas kemampuan, tidak macam – macam, tidak yang aneh – aneh).

Sak madyo, tentunya bukan saja dalam sikap perbuatan, juga ucapan yang kadang lebih tajam memamerkan kemewahan lebih dari fakta yang sebenarnya. Karenanya perlu menjaga mata agar tidak silau atas kepemilikan orang lain. Menjaga hati  agar tidak tergoda dengan beragam keinginan yang melebihi kemampuan. Menjaga diri agar dijauhkan dari rasa gengsi.

Ingat selama gengsi masih bersemayam dalam diri, sulit rasanya menjalankan pola hidup sederhana sebagaimana kata pepatah : Hidup itu sederhana, yang rumit pikiran kita. Hidup itu mudah, yang sulit maunya kita. Hidup itu murah, yang mahal gengsi kita.

Kuncinya, pikiran kita harus diarahkan kepada hal yang positif, maunya kita harus dibatasi, gengsi kita akhiri.

Mari kita mulai dari diri kita sendiri. (Azisoko).
 

Tags:
Kopi pagi HarmokoPamer Kemewahan

Administrator

Reporter

Administrator

Editor