Kopi Pagi

Fenomena Politik Uang

Kamis 19 Jan 2023, 08:40 WIB

“Sanksi hukum yang tegas bagi penebar politik uang, perlu diterapkan. 
Sanksi bisa mulai dari diskualifikasi, denda, hingga pidana bagi mereka yang benar – benar terbukti menyuap warga untuk memilih dirinya..” - Harmoko - 

 
Ada sejumlah hal yang sepertinya tiada tuntas dikupas menjelang pemilu 2024 ini, di antaranya masalah politik identitas dan politik uang (money politics). Keduanya menjadi momok bagi proses demokrasi negeri kita ini. Dianggap akan mencederai kemurnian pesta demokrasi yang akan digelar awal tahun depan.

Politik identitas mulai ramai dibahas sejak lima tahun terakhir ini, setidaknya distigmakan pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Kekhawatiran mencuat, politik identitas akan digunakan oleh para elite, dalam meraih suara rakyat.

Tak heran, jika semua pihak mulai dari pejabat negara hingga organisasi massa mewanti – wanti agar para elite yang hendak bertarung dalam pemilu, siapa pun dia, apakah capres hingga caleg, tidak menggunakan politik identitas.

Sementara, jika bicara politik uang bukan hal yang baru dan tabu dalam sistem demokrasi kita. Sejak awal pemilihan secara langsung, praktik politik uang sudah terjadi, hingga kini bukan rahasia umum lagi.

Setiap gelaran pemilu, pemilukada, politik uang selalu ada, baik secara sembunyi – sembunyi atau terang – terangan. Bahkan, politik uang sudah menjadi alat transaksi dalam jual beli suara.

Praktik politik uang bukan dugaan, tetapi nyata adanya, juga pengakuan dari sejumlah elite yang pernah mengikuti pilpres, pileg ataupun pilkada. 

Tak berlebihan sekiranya mencuat anekdot dalam masyarakat, “Nomor piro, wani piro” – nomor berapa, berani (bayar) berapa.

Maknanya, politik di Indonesia tak bisa lepas dari uang, padahal politik dan uang adalah dua hal yang berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan begitu saja menyongsong hajatan demokrasi.

Bagi elite politik, sebagai kandidat membutuhkan peluru untuk bertempur. Untuk berpolitik membutuhkan uang ( modal), dengan uang orang pun dapat berpolitik, meski modal tak selamanya harus berbentuk uang. Namun, dengan uang seolah dapat memainkan segalanya.

Dalam sistem pemilu seperti apapun, terbuka atau tertutup, politik uang kerap menyertainya. Tentu, kita akan memilih sistem yang dapat menutup sekecil mungkin peluang praktik politik uang.

Kalau keduanya, sebut saja  sama – sama memiliki risiko, tetapi hendaknya memilih risiko paling minim. Itu yang hendaknya dirumuskan para wakil rakyat dan pemerintah serta pihak terkait, demi memajukan dan memurnikan demokrasi kita yang berlandaskan kepada falsafah bangsa, Pancasila.

Dalam sistem lama (tertutup), politisi harus benar  benar mengabdi kepada partainya, selain memiliki peran panjang dalam perjuangan. Sedangkan, dengan sistem baru ( terbuka seperti sekarang), partai seolah tidak banyak berperan, bagaikan kendaraan (politik). 

Dengan sistem ini pun, seseorang dimungkinkan untuk datang ke partai tanpa peran yang lebih dari cukup, dan dapat terpilih karena popularitas dan kemampuan finansial.

Kita menduga, sistem ini masih berlanjut hingga pemilu 2024, karena itu, perlu melakukan berbagai langkah mencegah praktik politik uang yang semakin masif, terjadi hingga di pusat hingga ke desa- desa.

Kita tidak ingin ikatan sosial yang begitu kuat menjadi terbelah hanya karena tegiur politik uang ataupun permainan uang. Lebih – lebih di era perekonomian yang sepenuhnya membaik, uang sangat berarti bagi rakyat kecil, utamanya  di pedesaan. 

Jangan karena politik uang, kekerabatan renggang. Jangan pula “rumah besar” kita menjadi goyang karena terkena imbas dari gempa politik uang.

Rumah besar kesatuan dan persatuan kita perlu dirawat dan dijaga, dengan mencegah praktis politik uang sejak awal, jauh sebelum kampanye.

Banyak cara bisa dilakukan, di antaranya melalui pendidikan politik anti politik uang di tengah – tengah masyarakat. Dengan membentuk dan memantapkan kelompok – kelompok “Anti Politik Uang” di desa – desa, daerah pemilihan. Bisa dimotori oleh Panwaslu atau relawan anti jual beli suara pemilih.

Tak kalah pentingnya, sanksi hukum yang kuat dan tegas bagi penebar politik uang, seperti dikatakan  Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Sanksi bisa diterapkan, mulai dari diskualifikasi, denda, hingga pidana bagi mereka yang benar – benar terbukti menyuap warga untuk memilih dirinya.

Semestinya pelaku politik uang, perorangan atau parpol didiskualifikasi dan hanya dibolehkan ikut pemilihan umum berikutnya. Jika tidak pernah diberi sanksi, meski sudah terbukti adanya pelanggaran, tak ubahnya pembiaran. Ini ironi sekaligus paradoks politik Indonesia. 

Ingat!, demokrasi tanpa hukum bisa liar dan dimungkinkan menimbulkan anarki. Itulah sebabnya, proses demokrasi perlu dikawal oleh hukum agar kedaulatan rakyat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga kedaulatan rakyat tetap terjaga dan terhindarkan dari kemungkinan timbulnya kekacauan dan gesekan antarkelompok, akibat adanya kecurangan dan pelanggaran, termasuk di dalamnya praktik politik uang. (Azisoko).
 
 

Tags:
Kopi PagiAzisoko HarmokoPolitik Uangfenomena

Administrator

Reporter

Administrator

Editor