“TUMBEN, diam, nggak banyak ngomong” tanya Yudi mengawali obrolan warteg usai maksi bersama sohibnya, mas Bro dan Heri.
“Lagi sakit gigi,” jawab Heri singkat.
“Bukan sakit gigi, tetapi menjaga lisan,” urai mas Bro.
“Kita sebagai manusia harus menjaga lisan. Dari lisanlah sesuatu yang hal buruk bisa terjadi. Perpecahan, terpecah belah. Kawan bisa lawan, sebaliknya lawan bisa menjadi kawan,” kata Heri.
“Menjaga ucapan yang baik tak kenal waktu,harus dilakukan kapan saja dan dimana saja. Termasuk di warteg ini,kita juga harus berperilaku sopan, ramah. Contohnya Ayu Bahari, pemilik itu menyambut pelanggannya sangat ramah,” kata Yudi.
“Sekalipun ngebon tetap dilayani dengan baik,” kata mas Bro.
“Bukankah ajining diri soko lathi – harga diri seseorang tergantung dari lidahnya, ucapannya,” kata Ayu Bahari.
Ada yang mengatakan, lidah ( ucapan) bagaikan binatang buas. jika tidak
mampu mengendalikannya akan memangsa banyak orang. Gunakan lidah dengan lembut untuk berbicara yang baik - baik. Untuk kebaikan orang lain, bukan kebaikan diri sendiri.
“Perkataan baik, mungkin cepat dilupakan, tetapi perkataan yang buruk, apalagi menyakiti hati orang, akan selalu dikenang,” kata mas Bro.
“Saya setuju Bro, lidah memang tak bertulang, maka tak terbatas kata - kata..” ujar Heri.
“Karena siapa pun harus menjaga ucapan, lebih – lebih pejabat negeri, elite politik perlu menahan diri, tidak melontarkan pernyataan yang bisa membuat keresahan masyarakat. Menimbulkan kontradiksi,” kata mas Bro.
“Mungkin saja pernyataan itu untuk mendapat reaksi publik,” kata Yudi.
“Bukankah melontarkan pernyataan yang membuat sejuk, ade, ketimbang mengundang reaksi keras,” urai mas Bro. (jokles).