SOAL politik identitas, akhir-akhir ini menjadi bahasan yang ramai diperbincangkan. Terutama di media sosial. Namun, narasinya selalu dialamatkan ke satu orang, yaitu Anies Baswedan. Calon Presiden (Capres) dari Partai Nasdem.
Lalu, apa itu politik identitas? Benarkah Anies melakukan politik identitas? Atau stigma negatif itu sengaja dihembuskan para lawan politiknya, untuk menjatuhkan Anies Baswedan yang berpotensi memenangkan kontestasi Pilpres 2024? Apakah tidak melihat soal kebebasan memilih?
Soal politik identitas ini sebenarnya sudah mencuat sejak Pilkada DKI 2017. Saat itu, pertarungan sengit terjadi antara Anies - Sandi melawan Ahok - Djarot. Pertarungan akhirnya dimenangkan Anies - Sandi.
Sejak saat itu, pendukung Ahok menuding Anies - Sandi memainkan politik identitas. Anies dituduh mengorganisir umat Islam untuk memenangkan dirinya. Padahal, kemenangan Anies-Sandi adalah karena mayoritas warga Jakarta memilih keduanya.
Warga DKI yang mayoritas beragama Islam, memilih pemimpin yang seagama. Apakah salah? Bukankah di beberapa daerah lain juga berlaku hal semacam itu? Karena kebebasan memilih merupakan hak setiap warga yang dijamin oleh undang-undang.
Bagaimana dengan warga Bali yang menginginkan gubernurnya beragama Hindu. Demikian juga warga Sulut dan NTT yang menginginkan gubernurnya beragama Kristen.
Apakah Gubernur Bali, Gubernur NTT dan Gubernur Sulut juga dicap sebagai politikus identitas? Lagi-lagi, apakah tidak melihat soal kebebasan memilih?
Politik identitas merupakan ekspresi kepentingan politik untuk membela kelompoknya. Mereka yang mengorganisir kelompok politik atas dasar ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu.
Dalam kontestasi politik, memang terdapat unsur emosional yang mempengaruhi. Kalau calonnya adalah satu laki satu perempuan, maka isu gender akan dominan di situ. Kalau calonnya adalah satu dari Jawa, satu dari Sunda, maka isu etnis akan dominan di situ. Kalau calonnya beda agama, maka isu agama akan muncul di situ.
Oleh karena itu, polarisasi emosi sangat tergantung kepada sosok yang ikut dalam pemilu. Jadi, tidak melulu soal agama.
Politik identitas dalam pengertian hanya membela kelompoknya, itu yang harus kita cegah. Namun menyerang lawan politik dengan menyebut sebagai Politikus Identitas, ini jauh lebih penting untuk diberantas.