Oleh: Ilham S Tanjung, Wartawan Pos Kota
DUA minggu terakhir masyarakat kita dihebohkan dengan kematian anak usia 0-18 tahun akibat kasus gagal ginjal akut atau AKI (Acute Kidney Injury). Munculnya gangguan AKI itu diduga akibat mengkonsumsi obat-obatan sirop yang tercemar
senyawa kimia melebihi ambang batas aman yang diperbolehkan.
Tercatat ada sekitar 91 daftar obat sirop yang memiliki kesamaan dikonsumsi oleh pasien gangguan AKI, akibat mengandung zat etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG),
dan etilen glycol butyl ether (EGBE). Zat kimia berbahaya ini juga sama ditemukan WHO menyerang pada anak-anak di Gambia, Afrika.
Data di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat ada 241 kasus gangguan ginjal akut dengan angka kematian 133 kasus atau 55 persen. DKI Jakarta menjadi yang paling tinggi dengan jumlah 82 kasus dengan 40 di antaranya meninggal dunia.
Dimana sebanyak 60 kasus atau 85 persen terjadi pada balita dan 11 kasus lainnya atau 15 persen pada anak usia 5-18 tahun. Deretan obat medis berubah menjadi obat merenggut nyawa.
Merujuk pada kematian kasus AKI umumnya disebabkan karena terlambat didiagnosis dan dibawa ke RS. Karena itu Kemenkes meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan sirup, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.
Yang jadi pertanyaan dimana fungsi dan tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap produsen pembuat obat ? Betapa berbahayanya BPOM jika tidak menjalankan fungsinya melakukan pengawasan terhadap produk
yang beredar di masyarakat.
Kasus ini bukan hanya berdampak pada perekonomian Indonesia, tapi juga bisa menghancurkan masa depan generasi muda bangsa. Karena benteng pengawasan obat dan makanan sebelum dan selama beredar di masyarakat berada di pundak BPOM.
Karena itu, BPOM harus memastikan semua obat yang beredar di masyarakat sudah aman, berkualitas, dan bermanfaat. Jika masih ada obat legal yang beredar tidak memenuhi standar dan tidak memiliki izin, maka jelas fungsi BPOM tidak
berjalan baik dan layak dipertanyakan.
BPOM harus segera mengevaluasi kembali semua prosedur pengeluaran izin edar obat-obatan di Indonesia. Hal ini penting dilakukan agar kasus obat sirup mematikan ini tidak terulang lagi.
Peristiwa ini juga menjadi peringatan keras bagi BPOM untuk meningkatkan perannya dalam melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pen- gawasan Obat dan Makanan sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan serta peraturan perundangan terkait lainnya.
Sementara Polri sebagai penegak hukum juga harus mengusut tuntas kasus tersebut karena sudah banyak memakan korban jiwa. Jika produsen obat sirop benar terbukti melanggar peraturan, maka jangan ragu menindak tegas produsen obat dengan
melakukan proses hukum.
Jangan hanya ikut-ikutan memantau penjualan obat sirup di pasaran. Ini kesempatan Polri meraih simpati masyarakat, karena hukum tertinggi adalah keselamatan masyarakat. ***