ADVERTISEMENT

Kebebasan Sipil Terus Diserang Secara Fisik dan Digital, Amnesty International Sebut Aktornya Kebanyakan Kepolisian

Jumat, 7 Oktober 2022 19:06 WIB

Share
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. (ist)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. (ist)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Amnesty International Indonesia mencatat bahwa negara terus menerus menekan suara kritis dan membiarkan tekanan tersebut  juga dilakukan oleh aktor non negara yang rata-rata berakhir dengan impunitas.

"Walaupun pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan komitmennya untuk menghormati dan melindungi kebebasan sipil, namun data dan faktanya justru berkata lain. Kebebasan tergerus dari atas dan dari bawah. Ini harus diperbaiki pemerintah Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid pada Jumat, (7/10/2022).

Laporan Amnesty berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” menemukan fakta bahwa merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban.

Serangan dari atas berasal dari aktor-aktor negara yang sayangnya didominasi oleh kepolisian, lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran, pendapat atau kritik atas kebijakan negara. 

Sedangkan serangan dari bawah berasal dari para individu dan kelompok non-negara yang kerapkali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara.

Selama tiga tahun terakhir, serangan dari kedua arah tersebut menggerus ruang publik dan berakibat hilangnya hak-hak asasi para aktivis, jurnalis, mahasiswa, akademisi dan demonstran.

Laporan ini disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara. 

Laporan tersebut mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk mengritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang.

"Peretasan terhadap puluhan jurnalis Narasi akhir September membuktikan masalah ini masih terus berlanjut,” kata Usman. 

Dari 23 sampai 30 September 2022, setidaknya 37 anggota tim redaksi Narasi TV menjadi korban peretasan atau percobaan peretasan. Situs Narasi pun mendapatkan serangan DDoS yang menyertakan ancaman pembunuhan berpesan  "Diam atau mati.” 

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT