ADVERTISEMENT

Asap Politik

Senin, 3 Oktober 2022 06:25 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Demokrasi Pancasila memberi nuansa persatuan dan stabilitas. Perilaku politik yang merusak, mengganggu keamanan dan membuat kekacauan, bukanlah watak dan sikap demokrasi Pancasila.” -Harmoko-
 
Di tengah manuver politik yang makin ramai menjelang pemilu 2024, keluar beragam istilah politik yang cukup menggelitik telinga publik. Ada petir politik, zig -zag politik, hasrat politik, rangkulan politik, bunuh diri politik, debu politik dan masih banyak lagi. Boleh jadi akan menyisakan”abu politik” ataupun “asap politik”, jika produksi politik tidak berjalan secara normal dan maksimal.

Bicara politik tak lepas dari kekuasaan, sementara partai politik (parpol) adalah wadah, organisasi, alat, sarana yang dipergunakan untuk meraih kekuasaan. Sering dikatakan parpol adalah infrastruktur yang memproduksi kekuasaan, utamanya di eksekutif dan legislatif.

Mau menjadi anggota dewan yang terhormat ditentukan oleh parpolnya, ingin nyalon bupati/walikota dan gubernur harus mendapat rekomendasi dari parpol, begitupun seperti apa dan siapa sosok presiden mendatang ditentukan oleh parpol. 

Tanpa dukungan parpol, sekaliber apapun ketokohan seseorang tidak akan bisa menuju Istana Presiden.

 

Sepopuler dan setinggi apapun elektabilitas sebagai capres, tanpa tanda tangan ketua umum parpolnya, tidak bisa ikut kontestasi pilpres dan pilkada. Itulah sebabnya berbagai upaya dan cara dilakukan oleh kandidat demi memperoleh “restu” dari penguasa parpol agar bisa menjadi calon pengantin. Mahar politik satu, di antara sekian upaya yang layak dijalankan.

Mahar besar belum jaminan, ibarat mencari calon menantu, orang tua lazimnya mempertimbangkan “bibit, bebet,  bobot” – Bibit (garis keturunan), bebet ( status sosial ekonomi), serta bobot (kepribadian dan pendidikan -kualitas diri). Belum lagi soal hubungan emosional karena keluarga (suami, anak, menantu, keponakan dan lainnya).

Menggodok calon pemimpin bangsa ke depan itulah yang disebut produksi politik. Proses produksi tidak selamanya berjalan normal, kadang tersumbat hingga mendatangkan asap besar dan tebal (saya sebut asap politik), sebagaimana pembakaran, yang tidak sempurna, akan mengeluarkan asap tebal yang tak hanya mengganggu jarak pandang, juga menyesakkan dada.
Material yang tidak seluruhnya ikut terbakar akan menimbulkan asap, tak ubahnya aspirasi yang tersumbat, tak sepenuhnya terserap dalam proses politik.

 

Belum lagi abu sisa pembakaran yang akan memercikan letupan baru di kemudian hari, seperti halnya parpol yang kalah menjadi abu, hanya terima nasib tersingkirkan dari power sharing karena tekanan kekuasaan.
Sementara publik tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di sana karena asap tebal membatasi jarak pandang. Kita hanya mengetahui adanya asap, tetapi tidak tahu kenapa sampai berasap, apa penyebab dan asal – usulnya, dan bagaimana pula menghindarinya.
Publik hanya menduga karena semuanya serba tersamar, akibat tertutup kabut asap yang tertiup angin ke segala arah penjuru negeri.

Saatnya produksi politik lebih mengedepankan transparansi, keterbukaan dan kejujuran. Apalagi ketika menggodok capres – cawapres, melibatkan partisipasi rakyat berupa usulan, masukan dan harapan menjadi keharusan sebagai perwujudan kedaulatan di tangan rakyat. Bottom up. Jangan maunya parpol sendiri, demi keuntungan parpol dan kedernya serta relasi bisnisnya. Sementara rakyat hanya dijadikan batu loncatan.

Perlu diwaspadai juga produksi politik palsu berupa figur - figur popular akal - akalan para oligarki cukong politik melalui lembaga "SurveiRp" yang telah dibiayai oleh mereka, sementara kita tahu bagaimana sepak terjang para tokoh tersebut yang jauh dari kesuksesan pencapaian yang digembor - gemborkan. Seakan - akan saat ini seluruh rakyat Indonesia terhipnotis oleh pencitraan palsu para tokoh yang merakyat maupun intelek yang dikemas dengan konten menarik di media sosial dan disebarkan secara masif melalui robot - robot peperangan di dunia udara digital. Hal ini bukanlah suatu hal yang rumit dilakukan pada era sekarang. 

Publik sangat berharap produksi politik dapat berjalan secara normal dan prosedural dengan menjunjung tinggi asas keterbukaan dan keadilan. Masing – masing elit parpol hendaknya menyeimbangkan hak dan kewajibannya, bukan menonjolkan haknya karena merasa kuat dan besar. Bukan pula dengan cara menang – menangan maupun adu kekuatan. 

Lakukan dialog politik dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur sebagaimana nilai – nilai demokrasi Pancasila yang kita anut.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan. Bukan terpaksa menerima, kemudian di luar menebar keburukan yang memancing kekacauan dan kekecewaan publik.
Ingat! Demokrasi Pancasila memberi nuansa persatuan dan stabilitas, kata Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Perilaku politik yang merusak, mengganggu keamanan dan membuat kekacauan, bukanlah watak dan sikap demokrasi Pancasila.

Sejak dulu hingga kini, rakyat sangat mendambakan suasana aman dan tentram. Guyub rukun dengan sesama, murah sandang pangan. Di era ketika hak asasi diutamakan, maka hak asasi rakyat adalah mendapatkan penghidupan yang layak, bebas dari segala ancaman, termasuk tekanan dan intrik politik.
Haruskah karena beda pilihan dan dukungan lantas memantik abu politik, menerbangkan debu dan asap politik guna memancing polemik dan konflik?

Jawabnya tentu saja tidak karena tak selaras dengan tujuan parpol itu sendiri yang mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. (Azisoko)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT