Kritikan di Tengah Pujian

Senin 12 Sep 2022, 06:00 WIB

“JANGAN alergi terhadap kritik, lebih-lebih para elite negeri ini. Hadapi kritik dengan sikap bijak karena kritik itu bagaikan obat kuat, pemacu semangat untuk lebih berprestasi, meningkatkan kualitas diri..” - Harmoko -
 
Dalam sebuah negara demokrasi yang mengusung keterbukaan dan kebebasan berpendapat, kritik adalah keniscayaan, apalagi jika pilar demokrasi kita belum sepenuhnya mampu mewadahi aspirasi. Boleh jadi, sudah memberikan ruang begitu luas penyampaian aspirasi, tetapi masih lemah dalam menyikapi aspirasi yang  tercermin dari keputusan yang digulirkan.

Cukup beralasan jika dikatakan keputusan yang menuai banyak kritik, satu pertanda kurang aspiratif. Keputusan yang menimbulkan berbagai polemik, gambaran kurang adaptif. Dan, keputusan yang memicu beragam konflik, indikasi tidak responsif terhadap keadaan.

Saya tidak mengatakan bahwa menaikkan harga BBM adalah keputusan yang kurang aspiratif dan adaptif ataupun tidak responsif. Tetapi fakta panen kritik menyusul kenaikan harga BBM adalah kenyataan yang tidak terbantahkan.

Gerakan menolak kenaikan harga BBM melalui sejumlah aksi dari berbagai kalangan, dengan beragam pola dan alasan, masih terjadi hingga hari ini. Tak sedikit wakil rakyat, pengamat dan elite serta mahasiswa yang mendesak pembatalan kenaikan. Membatalkan berarti mencabut kembali keputusan kenaikan atau menundanya untuk sementara waktu.

Apakah – sebut saja aksi publik  ( reaksi atas kenaikan) ini perlu atau tidak direspons kembali dengan aksi, semuanya akan tergantung dari pembuat keputusan (pemerintah).

Tidak merespons sama sekali dengan membiarkan aksi hingga saatnya terhenti sendiri adalah sah-sah saja. Menunggu situasi reda, barulah bicara , bukan pula pantangan.

Meski begitu membuka dialog kepada setiap kelompok penyampai aspirasi, mestinya tidak ditinggalkan. Disinilah para pembantu presiden dan pejabat terkait, hendaknya lebih berperan menyejukkan suasana dengan irit bicara  banyak kerja mengupayakan berbagai bentuk kompensasi kepada mereka yang terdampak kenaikan di sektor yang menjadi tanggung jawabnya.

Aksi nyata bentuk kepedulian lebih dibutuhkan, ketimbang melawan kritikan dengan beradu argumentasi yang ujungnya bersimpang jalan karena beda kepentingan.
Menempatkan para pengkritik sebagai pihak yang berseberangan dengan pemerintah, bukanlah solusi, bahkan konflik bakal kian menjadi.

Sudah sepantasnya mereka (pemerintah, para elite, pengambil keputusan), legowo menerima kritikan, dan bijak menyikapi. Jangan emosional bagai orang kebakaran jenggot.

Orang bijak tidak layak takut atas risiko kritik, sebab seseorang tidak akan menjadi hina dan jatuh harga dirinya karena dikritik. Jangan pula melihat kritikan orang lain sebagai sebuah kebencian, hendaknya dijadikan sebagai kesempatan untuk kemajuan bagi dirinya, lingkungan sekitar, lebih luas lagi bangsa dan negara.

Ingat! Kritikan, saran atau masukan adalah koreksi untuk memperbaiki, bukan menjerumuskan karenanya tidak perlu alergi dikoreksi, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Memang, kritikan itu pahit, kadang menyakitkan, tetapi mendidik jiwa jika diterima dengan baik. Sementara, pujian itu manis tetapi merusak hati jika diterima dengan angkuh. Tanpa pengendalian diri, pujian bisa menyesatkan.

Lebih-lebih pujian yang berujung memunculkan ide mengubah undang-undang seperti perpanjangan masa jabatan presiden ataupun presiden tiga periode yang hingga kini belum hilang disuarakan.

Kini, kritikan mendominasi di tengah pujian keberhasilan. Ada baiknya menerima kritikan sebagai pemacu motivasi. Sebagai "obat kuat" penambah semangat memperbaiki diri meraih prestasi lebih baik lagi tanpa berharap pujian.

Tak perlu cemas, siapa yang mengkritik, apa pula yang dikritik, tetapi lebih baik introspeksi mengapa mereka menyampaikan kritik. Sadar diri menerima kritikan, tanpa melihat siapa yang menyampaikan, tetapi apa yang disampaikan. Lebih-lebih menyangkut kepentingan bangsa dan negara, hajat hidup orang banyak. Itulah pitutur para pendiri negeri.

Pepatah mengatakan “Sukeng tyas yen den hita” –bersedia menerima nasihat (saran dan kritikan). Pesan moral yang hendak disampaikan bahwa pribadi yang berjiwa besar dan lapang dada adalah bersedia menerima kebenaran yang datangnya dari siapapun. Tanpa memandang sebelah mata, apakah pejabat, orang kaya atau melarat sekalipun.

Lagi pula, jika tidak mau dikritik, jangan lakukan apa pun, tidak berkata apa pun dan tidak menjadi apa pun. Tidak perlu menjadi pejabat.Tidak perlu lagi ikut kontestasi sebagai capres, gubernur, bupati/walikota.

Mari membangun kritik dengan penuh etika demi kemajuan bangsa mewujudkan cita - citanya, bukan memundurkan, apalagi menghancurkan. (Azisoko)

Berita Terkait

Jebakan Politik

Senin 19 Sep 2022, 06:00 WIB
undefined

Komitmen Nasional

Senin 26 Sep 2022, 06:00 WIB
undefined
News Update