“POLITIK dinasti semakin mentradisi dan terlegalisasi, selain karena tak adanya larangan konstitusi, juga lemahnya pelembagaan partai. Kaderisasi lemah sehingga brand keluarga lebih penting ketimbang partai.” –Harmoko -
Membangun politik dinasti bukanlah sebuah halangan, tidak pula larangan karena undang–undangnya memang menyebutkan demikian. Setiap warga negara mempunyai hak memilih dan dipilih. Itulah hak individu sebagai inti dari politik itu sendiri. Sebuah realita juga bahwa dinasti politik merupakan fenomena di banyak negara yang sudah ada sejak zaman dulu, baik di negara berkembang maupun negara maju.
Di Amerika Serikat dikenal Dinasti Kennedy dan Dinasti Bush. Di Jepang ada Dinasti Abe, di India kita kenal Dinasti Nehru- Gandhi, di Pakistan ada Dinasti Bhutto. Bahkan dikenal Trio Kim di Korea Utara.
Lantas bagaimana dengan negeri kita? Jawabnya politik dinasti bukanlah hal baru dan tabu. Publik sering disuguhkan dengan mewabahnya politik dinasti yang ditandai dengan tampilnya kerabat penguasa di panggung politik guna merebut kekuasaan di eksekutif dan legislatif, bidang kekuasaan yang banyak diincar.
Setidaknya terdapat 124 calon kepala daerah terpapar dinasti politik pada perhelatan pilkada serentak tahun 2020. Ada istri, anak, menantu, keponakan dari pejabat lama atau yang sedang menjabat.
Dari jumlah itu, seperti pernah diberitakan dari hasil sebuah riset, 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon walikota dan 8 calon wakil walikota. Terdapat pula 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. Tercatat pula 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya.
Data lain menyebutkan, sepanjang pilkada 2015 hingga 2018 terdapat 117 kepala daerah terpilih berasal dari dinasti politik. Diyakini terdapat pula ratusan calon anggota legislatif yang memiliki hubungan darah (keturunan), anggota keluarga, ataupun kerabat dekat dengan penguasa (elite), baik di pusat maupun daerah.
Dapat dikatakan, politik dinasti tak sebatas fenomena, juga tradisi negeri yang bermula dari budaya feodalisme yang juga menganut patrimonialisme, yakni regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit system.
Dulu, pewarisan ditunjuk langsung, kini lewat jalur politik prosedural.
Politik dinasti juga merupakan praktik nepotisme. Kita menentang nepotisme, tetapi tidak ada konstitusi yang dapat menghalangi. Belum ada negara yang dapat melarang seseorang/warganya maju pemilu karena dia kerabat dari seorang pejabat publik.
Maknanya politik dinasti sulit dihindari. Menjadi masalah, jika menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Target yang hendak dicapai melanggengkan kekuasaan pada istri, anak, menantu dan keponakan, serta besan.
Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha, yang berpotensi terjadinya negosiasi dan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan. Fungsi kontrol kekuasaan menjadi lemah, tidak berjalan efektif yang membuka peluang penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Boleh jadi korupsi kian menjadi untuk mengembalikan dana politik.
Cita-cita demokrasi dengan terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance), akan jauh dari harapan.
Menutup peluang orang berkompeten, kader handal dan berkualitas menjadi pemimpin karena bukan keluarga, sebaliknya kader instan, tidak kompeten duduk di singgasana karena faktor keluarga. Ini berujung kepada proses pengambilan keputusan dan kebijakan tidak didasarkan kepentingan publik, tetapi dirumuskan oleh aktor – aktor dinasti yang berkuasa.
Politik dinasti semakin menjadi tradisi dan terlegalisasi, selain karena tak adanya larangan konstitusi, juga lemahnya pelembagaan partai. Kaderisasi menjadi lemah sehingga brand keluarga lebih penting ketimbang partai seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dampak politik dinasti, menjadikan rekrutmen partai lebih didasarkan kepada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan, mendukung kekuasaan dinasti, bukan mewujudkan cita –cita negeri, menciptakan kesejahteraan rakyat.
Meski sulit dihindari, setidaknya peluang politik dinasti dapat dieliminir dengan meningkatkan fungsi ideal parpol melalui kaderisasi dengan asas meritokrasi, bukan tunduk oleh hubungan kekeluargaan.
Parpol sebagai produsen pejabat publik harus lebih adil. Bukan sekadar melirik calon pejabat karena popularitas, kekerabatan dan finansial. Tetapi, karena kapasitas, kapabilitas dan integritas.
Bukan memilih orang yang merasa bisa, tetapi nyatanya tidak bisa apa- apa. Pepatah mengajarkan “Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa” – ketika menjadi kader, calon pemimpin jangan merasa jumawa, serba bisa, tetapi bisa merasakan. Sadar diri memiliki keterbatasan. Low profile – rendah hati.
Politik sejatinya adalah kekuasaan. Ketika kekuasaan digunakan untuk sebesar –besarnya kemakmuran rakyat, politik apapun, termasuk dinasti tidak masalah. Tetapi siapa dapat menjamin politik dinasti akan jauh dari kekuasaan bercorak oligarkis. Akankah politik dinasti tidak menggunakan kekuasaan sebagai instrumen kepentingan keluarga dan kerabatnya. Mari kita renungkan. (Azisoko)