Polisi Tetapkan Sopir Truk Maut di Bekasi Sebagai Tersangka, Pengamat Transportasi Sebut Diskriminatif

Kamis 01 Sep 2022, 22:30 WIB
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno. (ist)

Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno. (ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Polisi tetapkan pengemudi mobil truk bermuatan besi kontruksi berinisial S (30), sebagai tersangka dalam insiden kecelakaan maut yang merenggut 10 nyawa dan 23 orang luka-luka di Jalan Sultan Agung Bekasi, Jawa Barat pada Rabu (31/8/2022) kemarin.

Kasat Lantas Polres Metro Bekasi Kota, AKBP Agung Pitoyo mengatakan, penetapan tersangka terhadap S dilakukan karena akibat kelalaiannya telah menyebabkan hilangnya nyawa orang lain pada saat terjadinya insiden tersebut.

"Sopir telah ditetapkan sebagai tersangka ya," jata Agung saat dikonfirmasi, Kamis (1/9/2022).

"Dipersangkakan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Kecelakaan Lalu Lintas, dengan ancaman 6 tahun kurungan pidana," sambungnya.

Penetapan S selaku pengemudi truk maut itu pun ditanggapi oleh Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno.

Menurut Djoko, penetapan tersangka terhadap pengemudia dalam setiap terjadinya insiden kecelakaan lalu lintas adalah hal yang diskriminatif.

"Di setiap kasus kecelakaa, yang selalu menjadi tersangka adalah sopir. Tapi, kenapa pengusaha atau atasan si sopir tersebut tidak pernah dijadikan tersangka? Padahal kan mereka yang meminta si sopir untuk membawa barang tersebut dengan kapasitas yang berlebih. Ini diskriminatif," ujar Djoko.

Dia mengatakan, sopir hanyalah 'kambing hitam' di setiap kasus terjadinya kecelakaan.

Maka, seharusnya polisi juga harus memeriksa atasan atau perusahaam tempat si sopir bekerja guna mengetahui lebih dalam penyebab si sopir hilang kendali saat mengemudi.

"Harusnya polisi juga periksa perusahaannya, apa si sopir ini sudah bekerja sesuai dengan porsinya? Apa kendaraan yang dibawanya ini sudah layak? Itu kan perlu. Jangan selalu menjadikan sopir 'kambing hitam' lah," papar dia.

Djoko menjelaskan, saat ini sopir truk cenderung menanggung beban sistem logistik yang salah, di mana tanggung jawab pemilik barang (pabrik) dibebankan pada pengemudi.

Maka tak pelak, kata dia, di setiap terjadi kecelakaan lalu lintas, pengemudi dijadikan tersangka.

"Belum lagi masih suburnya pungli di sepanjang perjalanan aliran logistik. Saya rasa menetapkan sopir sebagai tersangka terkesan diskriminatif tanpa mengetahui akar masalah yang ditanggung sang sopir," jelasnya.

Saat ini, tambah dia, pengemudi truk sudah jarang yang membawa kernet, sehingga dampak terjadinya regenerasi pengemudi truk terhambat, bahkan nyaris tidak ada.

"Biasanya sopir belajar mengemudi ketika dia menjadi kernet, menggantikan sopir yang lelah. Namun, karena saat ini ongkos muat kembali ke angka di tahun 2000-an, sudah terlalu minim, maka perolehan bagi hasil antara pengemudi dengan pengusaha truk pun anjlok," ucap Djoko.

"Kemudian, selain mengakibatkan kaderisasi pengemudi truk jadi terhambat, banyaknya pengemudi truk yang tidak membawa pendamping atau kernet sama sekali juga menyebabkan tingginya angka kecelakaan tunggal. Sebab waktu dan tenaga yang mestinya sopir gunakan untuk istirahat terpaksa dia gunakan untuk melakukan pekerjaan kernet," sambungnya.

Berita Terkait

News Update