“JATI diri bangsa menjadi modal dasar menyejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan sejak negeri ini didirikan” - Harmoko
“Demi Merah Putih.” Kalimat ini sering kita dengar, diucapkan dengan lantang tanpa keraguan oleh sejumlah kalangan, tak terkecuali pejabat dan tokoh masyarakat serta elite negeri ini. Makna yang hendak disampaikan adalah total pengabdian kepada nusa dan bangsa. Apa yang diperbuat adalah semata demi kemajuan bangsa, dengan segala risiko yang bakal dihadapinya.
Ini gambaran semangat nasionalisme yang sangat dibutuhkan untuk membangun negeri, tak ubahnya para pejuang mengusir penjajahan dengan satu tujuan meraih kemerdekaan.
Semangat nasionalisme yang wajib ditumbuh-kembangkan, tentu harus mencerminkan identitas nasional, jati diri bangsa Indonesia yang berdasarkan kepada falsafah negara Pancasila, konstitusi UUD 1945, berbendera Merah Putih, berlambang Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan bentuk negara NKRI.
Itulah cermin kepribadian bangsa yang di era sekarang semakin mendesak diaplikasikan, bukan sebatas slogan, tetapi perilaku tidak mencerminkan. Bukan pula mengumbar pernyataan tentang total pengabdian, tetapi mempertontonkan ucapan dan perbuatan yang jauh dari harapan. Penyalahgunaan wewenang, jabatan dan kekuasaan masih sering kita saksikan.
Berdiri paling depan meneriakkan pemberantasan korupsi, tetapi pada akhirnya kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) karena menerima gratifikasi. Menciptakan sistem pencegah penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan, tetapi akhirnya terkuak siapa yang lolos memanfaatkan celah dari sistem tersebut. Begitupun kebijakan dibuat sedemikian rupa guna memajukan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi masih saja ada yang mampu menerobos celah kebijakan.
Saya tidak berkeinginan mengulik sederet kasus dimaksud karena publik sudah sangat cerdas mengoleksi daftar panjang beragam bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan.
Menjadi renungan, sejauh mana sudah mengabdikan dirinya untuk kemajuan bangsa, minimal lingkungan sekitarnya, setidaknya bagi dirinya sendiri agar tidak menjadi benalu bagi orang lain.
Tidak perlu muluk – muluk, dengan berjati diri dan berkepribadian Indonesia sudah sangat membantu mengisi kemerdekaan demi kemajuan bangsa. Berjati diri berarti taat dan patuh terhadap identitas nasionalnya, menjalankannya, bukan merusaknya.
Dengan berjati diri bangsa, berarti telah memerankan dua fungsi utama seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Pertama, menangkal arus budaya asing yang tak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Lebih–lebih di era sekarang ini. Era yang kian menderasnya "arus negatif" budaya asing, akibat dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang nyaris mustahil dibatasi bila kita tidak ingin dicap "melangkah ke belakang."
Lengah sedikit saja bisa terseret kepada budaya yang dapat mengikis jati diri. Kehadiran budaya asing tidak bisa kita tolak, tetapi harus disikapi secara bijak dengan mengemasnya guna memperkokoh jati diri.
Ibarat pohon rindang, silakan orang lain datang untuk berteduh, menikmati kerindangan pohon tersebut. Jika memungkinkan kian memperkuat akar dan kerindangannya, bukan merusak atau mengerdilkannya.
Kedua, jati diri bangsa menjadi modal dasar menyejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana dicita- citakan sejak negeri ini didirikan.
Modal dasar dimaksud menyangkut kondisi alam kita, negeri yang terdiri dari kepulauan sebagai keunikan secara geografis dan keberagaman suku, etnis, agama dan budaya.
Keunikan geografis yang menyatukan Indonesia dalam bingkai NKRI. Keberagaman memunculkan karakter sopan santun, ramah, rukun, saling berbagi dan menghargai. Tercipta sikap gotong–royong dan saling tolong-menolong dalam membangun negeri.
Sudah selayaknya kita menjaga, merawat dan melestarikan jati diri yang berakar dari tradisi dan budaya bangsa sejak dulu kala. Jangan sampai sejumlah negara yang mengadopsi budaya gotong royong berhasil menyejahterakan rakyatnya, sementara kita yang memilikinya malah meninggalkannya.
Melalui keteladanan para elite, pejabat negara di institusi manapun, dengan leval apapun, kita rawat kepribadian bangsa, mulai dari bertutur kata, bersikap dan bertindak.
Akan menjadi lebih indah jika mengedepankan “Sepi ing amrih, ramai ing gawe”- Senyap dalam pamrih, ramai dalam pekerjaan. Pepatah ini mengajarkan bahwa dalam setiap pekerjaan yang terpenting adalah tujuan kebaikan yang dihasilkan, bukan pencitraan. Bukan berharap imbal balas, popularitas dan elektabilitas.
Mari kita mulai. Bismillah. ( Azisoko)