"SERANGLAH bagian terlemah untuk menjatuhkan lawan,” kata mas Bro begitu memasuki warteg di ujung gang, milik Ayu Bahari. Warteg langganan makan siang bersama dua sohibnya, Yudi dan Heri.
“Emang lo mau perang, sepertinya lo nggak punya musuh,” kata Yudi.
“Ini perang antar pendukung bakal calon presiden, setidaknya perang komentar,” kata mas Bro.
“Kalau itu medan pertempuran sudah dikasih bendera partai,” ujar Heri.
“Kan tidak semua bakal capres berasal dari partai. Pak Anies misalnya tidak punya partai?” tanya mas Bro.
“Tapi dicalonkan dari partai, penyerangnya juga dari partai, minimal simpatisan partai yang mendukung calon lain,” timpal Yudi. “Permainan baru tahapan awal dengan menyerang tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi,”
“Gue paham, maksud sampeyan, pak Ganjar dan pak Anies yang sering diserang untuk menggerus elektabilitas,” kata Heri.
“Ibarat pohon, tambah tinggi akan semakin dihempas angin kencang,” kata mas Bro. “Jika akarnya kuat, dapat tetap kokoh, takkan tumbang”
“Jadi kedua tokoh tersebut cukup kokoh, meski sering dihempas, tetap berada di atas, tiga besar bursa capres,” ujar Heri.
“Boleh jadi hempasannya an tidak tepat. Ibarat strategi perang, bukan bagian terlemah yang diserang, takkan jatuh,” kata Yudi.
“Kalau tidak ada yang lemah, tidak memiliki kelemahan, gimana?” tanya Heri. “Haruskah menciptakan kelemahan lawannya dengan menghalalkan segala cara, misalnya menjegal agar tidak bisa tanding?” tambah mas Bro.
“Itu permainan tidak sportif. Tak sesuai etika dan norma. Permainan yang dimulai dengan ketidakjujuran, akan menghasilkan kerapuhan,” kata Yudi.
“Jika musuh terlalu kuat, rangkul sebagai kawan, jadikan pasangan” kata Heri.
“Gue setuju. Hentikan peperangan. Bukankah seni perang tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa berperang,” kata mas Bro. (jokles)