JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sutradara handal Hanung Bramantyo berkomentar soal novel yang sering diadaptasi menjadi sebuah film dan karya besar lainnya di Indonesia, menurutnya industri perfilman harus maju.
"Ini tema menarik, saya pikir menjadi sangat penting, jika tayangan ini diketahui masyarakat umum terutama penonton film Indonesia," tutur Hanung Bramantyo dalam Webinar Buku Best Seller, Film Box Office? yang diselenggarakan Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) 2022, baru-baru ini.
Hanung menyebut ada alasan utama dari perlunya penonton Indonesia mengetahui hasil webinar.
"Karena problem utama dalam pembuatan adaptasi karya novel ke film, sebetulnya tidak hanya pada kreativitas film maker, tetapi juga pada mindset penonton. Kebanyakan penonton Indonesia selalu menganggap film bukanlah new message dari novel. Kalau begitu, maka film dan novel tidak pernah works," tambahnya.
Hanung menyebut ada alasan utama dari perlunya penonton Indonesia mengetahui hasil webinar.
Namun menurut Hanung, jika penonton sudah punya kesadaran bahwa film adalah sebuah karya baru dari novel, maka jika sebuah film mengadaptasi novel apapun hasilnya, tidak akan jadi persoalan lagi.
“Dan pasti tidak ada perdebatan kenapa filmnya tidak sesuai novel. Atau kok filmnya malah lebih jelek dari novel,” ungkap ayah lima anak tersebut.
Menurut sutradara film 'Ayat-Ayat Cinta' produk novel memang berbeda dengan film.
"Novel dikerjakan oleh satu orang, sementara film digerakan oleh banyak orang. Dan sangat tidak mungkin film dikerjakan seorang diri, sehebat apapun sutradaranya,” suami dari Zaskia Adya Mecca ini.
Lebih lanjut Hanung menyebutkan, dalam mengadaptasi cerita novel, sebagai sutradara tidak ada keinginannya untuk melencengkan cerita.
“Sama sekali tidak ada. Itu yang harus disadari bersama. Tidak ada keinginan atau egositas dari film maker untuk kemudian melencengkannya dari novel," tambah Hanung.
Tapi kenapa tetap bisa terjadi sebuah novel yang diadaptasi sangat berbeda dengan film? Menurut Hanung, ini memang berpulang pada soal struktur cerita.
“Kadang-kadang dalam novel best seller yang saya temui, strukturnya berbeda jauh dengan struktur baku dari teori penulisan skenario tiga bab atau delapan sequence," ungkapnya.
Hanung juga menyebut, sebetulnya akan jauh lebih leluasa sebuah novel diadaptasi bukan ke dalam film layar lebar, melainkan ke dalam cerita series.
Karena series punya ruang untuk menjelaskan dan bisa bermain dengan karakter yang ada.
Penulis laris Asma Nadia, menyebut karya tulisnya yang difilmkan, tidak melulu melalui dari novel yang sudah diterbitkan dan menjadi best seller.
“Bisa juga dari cerpen saya atau malah sinopsis yang sengaja saya tulis sepanjang 6-8 halaman. Namun, itu memang tidak mudah. Saya kirim sinopsis itu sampai tujuh kali ke Manoj (Punjabi) baru direspon,” ujar Asma Nadia.
“Sebetulnya ada tiga karya saya yang belum pernah diterbit dalam buku, dan sudah akan difilmkan. Semua itu dimulai dari sebuah sinopsis yang saya tulis 6-8 halaman,” kata Asma Nadia lagi.
Asma Nadia mengaku, sejak pertama kali bukunya difilmkan yakni “Mak Ingin Naik Haji”, dan “Rumah Tanpa Jendela”, ia paham betul bahwa karya film pasti berbeda dari buku. Karena kebutuhan visual dan kebutuhan tulisan pasti berbeda.
Namun, ketika karyanya difilmkan, Asma Nadia meminta kepada produser, penulis skenario dan sutradara untuk tetap menggunakan benang merah atau semangat untuk tetap setia pada novelnya.
"Jadi visualnya boleh seperti apa, namun saya minta semangatnya tetap sama. Saya juga minta ke pihak production house untuk dilibatkan dalam pengembangan skenario, baik sebelum film dibuat atau dalam proses syuting. Namun, saya juga tahu batasan untuk tidak mengintervensi kerja sutradara di lapangan," paparnya.
Webinar FFWI Seri kedua ini dihadiri Wina Armada selaku Ketua Pelaksana FFWI 2022, diikuti pula oleh Eddy Suwardi Dit PMM Kemendikud Ristek, Ahmad Fuadi, penulis novel Trilogi Negeri 5 Menara dan lebih kurang 50 wartawan hiburan. (*/mia)