JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan mengungkapkan sosok asli Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) bernama Budi Santosa Purwokartiko. Menurutnya, Budi adalah anggota Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB).
Kelompok ini, lanjut Syahganda, memiliki prinsip yang bersebrangan terhadap nilai dan esoteris Islam sehingga menampakkan sikap yang cenderung islamphobia. Di lain hal, kelompok ini bahkan terkesan rasis menyikapi perbedaan yang muncul di kalangan umat muslim.
"Budi tercatat dalam kelompok Gerakan Anti Radikalisme (GAR)- ITB, sebuah kelompok bersemangat rasis dan Islamophobia, yang memfitnah Din Syamsuddin beberapa waktu lalu," kata Syahganda kepada wartawan, Rabu (04/05/2022).
Syahganda menjelaskan, pada 2021 lalu, GAR ITB melaporkan Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Mereka menuduh Din telah bersikap konfrontatif dengan lembaga negara berikut kebijakannya.
Syahganda juga menyoroti pernyataan Budi perihal pakaian muslimah yang dinilainya seperti manusia gurun. Menurut dia, ujaran ini jelas merendahkan posisi umat Islam, khususnya kalangan muslimah.
"Budi Santoso, menghina perempuan di akun medsosnya. Dia juga menghina Islam. Menurutnya perempuan berjilbab merupakan perempuan gurun yang tidak mempunyai value (nilai-nilai) yang universal," jelasnya.
Syahganda mengatakan bahwa dalam tulisannya terdahulu yang berjudul "Cadar, Cingkrang dan Kebangkitan Peradaban Islam", 2019, ia membongkar bagaimana negara, khususnya pemerintahan Jokowi, terlibat dalam semangat Islamophobia.
Saat itu, Menteri Agama dan juga menteri PAN-RB mempersoalkan dan melarang pegawai mereka yang memakai cadar dan bercelana cingkrang.
"Hal ini membentuk opini terstruktur dalam lingkungan kekuasaan bahwa Islam atau Islam dalam simbolistik budaya tertentu perlu disingkirkan. Dalam tulisan itu saya menjelaskan bahwa jilbab adalah sebuah simbol perlindungan perempuan dalam Islam," ujar Syahganda.
Dengan jilbab, kata dia, muslimah dapat memproteksi mereka dari interaksi sosial yang berpotensi melewati batas, misalnya ketika bertemu lelaki bukan muhrim ketika suami/orangtuanya tidak melihatnya.
"Konsep ini selain melindungi dan mendorong emansipasi perempuan Indonesia, tentu juga memberikan proteksi pada keluarga, sebagai institusi sosial yang paling penting dalam masyarakat," terangnya.
Syahganda juga menyebut bahwa terpilihnya rektor ITK yang Islamophobia merupakan keberhasilan kelompok anti Islam memanfaatkan struktur negara untuk kepentingannya.(*)