ADVERTISEMENT

Mengutamakan Rakyat

Kamis, 7 April 2022 08:50 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Perlunya keteladanan pemimpin yang merakyat, bukan memusuhi rakyat yang  berseberangan jalan. Perlu membangun kebersamaan membangun negeri dengan merangkul semua pihak, tanpa pembedaan. -Harmoko-

NEGERI kita kaya akan filosofi kepemimpinan yang telah diajarkan para leluhur. Sejatinya nenek moyang kita sudah terbiasa menerapkan ajaran adiluhung, termasuk bagaimana menjadi pemimpin yang membumi, dicintai rakyat. Pemimpin yang merakyat  dan peduli akan nasib rakyat.

Setidaknya dikenal falsafah kepemimpinan Asta Brata, falsafah kepemimpinan Tribrata, falsafah kepemimpinan Gadjah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung lewat Serat Sastra Gendhing.

Dikenal juga falsafah kepemimpinan Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, dengan falsafah Tri Dharmanya dan semboyan Tiji Tibeh.

Selama 16 tahun (1749-1757), Pangeran Samber Nyowo dengan nama kecil Raden Mas Said berjuang bersama rakyat, mendapat dukungan penuh dari rakyat karena menerapkan asas persamaan dan kebersamaan, tanpa membeda-bedakan perlakuan. Itulah gambaran demokrasi yang ditorehkan RM Said yang dilahirkan di Kartasura pada tanggal 7 April 1725.

Keberpihakan kepada rakyat, antipenjajah dengan politik devide et impera (politik pecah belah) yang digunakan VOC sudah diperlihatkan sejak kecil. Ajaran fenomena yang hingga kini masih diterapkan para pemimpin bangsa kita adalah Tri Dharma, yakni “Rumangsa melu handarbeni” (merasa ikut memiliki), “wajib melu hanrungkebi” (wajib ikut mempertahankan), dan “Mulat sarira hangrasa wani“ (introspeksi diri dan berani bertindak).

Di dalamnya terdapat nilai-nilai demokrasi, solidaritas, loyalitas dan kebersamaan, tak ubahnya nilai-nilai luhur falsafah bangsa kita, Pancasila. Ini tercermin dalam jiwa Pangeran Samber Nyowo sebagai pemimpin yang membumi, berwibawa, bertanggung jawab, mengutamakan kepentingan rakyat, menjunjung tinggi loyalitas dan solidaritas.

Ini diperkuat dengan semboyan “Tiji Tibeh” yang merupakan akronim dari “mati siji mati kabeh-mukti siji mukti kabeh”, artinya mati satu mati semua, makmur satu makmur semua.

Begitupun dalam strategi perang melawan musuh dengan tiga taktik, yaitu “dhedhemitan, weweludan dan jejemblungan“ – demit bagaikan hantu susah diraba kedatangannya, welud atau belut susah ditangkap, jemblung perang bagaikan orang gila, tidak merasa takut. Inilah teknik bergerilya yang kemudian diadopsi Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam melawan penjajah.

Yang hendak saya katakan, kepemimpinan ala Pangeran Samber Nyowo masih tetap aktual, bahkan saat-saat seperti sekarang ini sangat dibutuhkan. Meski tidak sama persis, tetapi prinsip dasar kepemimpinan yang mengacu kepada persamaan, kebersamaan, kerakyatan, peduli nasib rakyat, dan mengutamakan kepentingan rakyat .

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT