“Selain bersikap adil, tak kalah pentingnya membangun rasa simpati, empati dan kepedulian sosial dengan saling berbagi serta memberikan yang menjadi hak orang lain”- Harmoko
Di negara manapun akan sangat – sangat menghindari terjadinya “konflik sosial.” Mengapa? Jawabnya karena konflik sosial akan mempengaruhi, menghambat dan jika semakin meluas dapat menggagalkan capaian pembangunan di negara tersebut, termasuk di negeri kita.
Lebih – lebih jika konflik sosial tersebut berlatar belakang kesenjangan dan ketimpangan sosial, tidak meratanya hasil – hasil pembangunan, dipicu melonjaknya angka kemiskinan, sulitnya mencari pekerjaan, kian banyaknya warga yang terkena PHK dan semakin maraknya perilaku ketidakadilan.
Apalagi jika perilaku ketidakadilan itu dipertontonkan aparat dan pejabat dalam merespons aspirasi masyarakat. Bermaksud menyelesaikan masalah, tetapi yang terjadi kian menumpuknya masalah.
Kita sepakat siapapun yang menjabat sebagai presiden, yang berada di Istana Negara, yang menduduki kursi gubernur, bupati/walikota. Yang memimpin Lembaga negara, yang menempati gedung – gedung parlemen di pusat hingga daerah – daerah, dituntut kewajibannya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan segala aspeknya.
Ini sejalan dengan butir – butir Pancasila yang telah kita sepakati bersama sebagai ideologi bangsa, yakni: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, permusyawaratan rakyat, persatuan Indonesia yang menjunjung tinggi hak – hak kemanusian yang adil dan beradab berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Yang hendak saya sampaikan adalah segala sikap perilaku perbuatan hendaknya selalu mengacu kepada prinsip – prinsip dasar falsafah bangsa sehingga proses menuju keadilan sosial tidak senantiasa diwarnai oleh ketidakadilan.
Keadilan sosial menjadi amat penting untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyat melalui pekerjaan, perlindungan sosial, dialog sosial, serta prinsip – prinsip dan hak dasar setiap warga negaranya. Itulah sebabnya PBB mendeklarasikan Hari Keadilan Sosial Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 20 Februari sebagai upaya mempromosikan pembangunan sosial dan martabat manusia.
Memiliki moto "masyarakat untuk semua”, dalam arti membuat perayaan mencakup aspek pemerataan pendapatan, kemiskinan, pekerjaan, kesetaran, hak asasi manusia, jaminan sosial serta pengakuan terhadap kelompok marginal, seperti yang sudah disebutkan di bagian awal tulisan ini sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Maknanya apa yang menjadi rujukan PBB dalam peringatan Hari Kedailan Sosial Sedunia, sejalan dengan nilai – nilai dan jati diri serta falsafah bangsa Indonesia.
Menjadi penting pula, negara wajib hadir jika terdapat ketidakadilan yang dirasakan warga masyarakat, sekecil apapun bentuknya.
Membangun keadilan sosial berarti membangun rasa simpati, empati dan peduli sosial, yang hendaknya perlu dicontohkan para pejabat negeri. Jangan berteriak soal keadilan, jika ucapan dan perilaku perbuatannya mencerminkan arogansi, intoleransi, dan korupsi. Jangan bicara soal keadilan, jika masih ada oknum pejabat yang memperlihatkan kesombongan, keserakahan, mempertontonkan kekuasaan dan kekuatan.
Jika ingin menegakan keadilan hendaknya menjauh dari sikap “ Ojo ketungkul marang kelungguhan” – jangan terobsesi dengan jabatan dan kedudukan. Apalagi jika telah mendapatkanya lantas menggunakannya secara sewenang – wenang. Dengan cara ”Adigang, adigung, adiguno” - membanggakan kekuatan, kedudukan dan kepandaian (ilmunya).
Memang, setiap era pemerintahan tentulah memiliki skala prioritas dan gaya kepemimpinan sendiri- sendiri, yang hasilnya akan dirasakan langsung oleh rakyat dengan bermacam kebutuhan dan tuntutannya.
Tetapi,di era kapanpun, selama masih ada pola – pola penanganan represif dalam menyikapi aspirasi, sepanjang masih mempertontonkan kekuatan dan kekuasaaan, mengedepankan penindakan dengan alasan keamanan dan ketertiban, ketimbang dialog sosial, gambaran keadilan sulit dirasakan.
Tidak bisa dikatakan penyelesaian masalah seacar adil, jika keadilan yang tercipta masih menyisakan ketidakadilan, sekecil apapun ketidakadilan itu menerpa warga masyarakat.
Aspirasi dasar yang hampir pasti kita sepakati adalah janganlah rakyat menanggung beban yang tak sesuai dengan kemampuannya akibat dampak kebijakan yang dikeluarkan.
Selain berperilaku adil, tak kalah pentingnya membangun sikap sosial seperti dikatakan Pak Harmoko melalui kolom “Kopi Pagi” di media ini. Selain dapat mencegah konflik sosial, sekaligus guna memantapkan keadilan sosial dengan membangun rasa peduli sosial, empati sosial dan simpati sosial di kalangan masyarakat.
Melakukan aksi sosial, saling berbagi, memberikan hak kepada orang lain yang memang menjadi haknya, bukan malah mengambil hak orang lain, adalah cermin sifat rasa empati, peduli dan simpati sosial seperti diamanatkan dalam sila kelima Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai penutup ingin saya sampaikan bahwa negara memiliki peran strategis untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, setiap warga negara pun, utamanya pejabat dan tokoh masyarakat, perlu berbagai rasa keadilan terhadap sesama dengan memberikan hak kepada orang lain. Bukan sebaliknya mengambil hak orang lain, apalagi memaksakan kehendaknya untuk kepentingan diri sendiri dan koleganya.
Mari, para pejabat negeri, ciptakan rasa keadilan mulai dari diri sendiri. ( Azisoko *)