Ternyata maju, sehingga mampu membuat rumah di kampung dengan magersari (berdampingan) dengan rumah mertua, ayah Samijo.
Saat rumah dibangun, yang mengawasi Samijo sendiri sementara Marni sibuk dengan bisnisnya di Jakarta.
Bahan material apa yang kurang, Samijo tinggal lapor nanti istrinya segera transver untuk belanja di toko bangunan.
Lama di kampung, Samijo kemudian kenal dengan janda Ratih, 30, tetangga desa.
Dibanding istrinya, dia jauh lebih cantik dan muda lagi, ibarat mangga pasti isinya daging semua. Ada sih peloknya, tapi kecil saja.
Hal itu membuat Samijo semakin kesengsem dan lupa istri yang sibuk dagang telur asin di Jakarta.
Orang pacaran kan perlu anggaran, sedangkan Samijo tak punya uang lebih, sebab semua sudah dicatu istrinya.
Maka otaknya pun jalan. Semen yang harganya hanya Rp45.000,- persak, dimark up jadi Rp60.000,- harga triplek perlembar hanya Rp80.000,- disebutnya Rp95.000,-.
Begitulah, dari cat tembok, cat minyak, sampai batu bata dan pasir sengaja Samijo selalu mbathi, sebab uang lebih itu kemudian dipakainya untuk bersenang-senang janda Ratih.
Hubungan cinta keduanyanya semakin seru saja, sehingga ketika rumah sudah jadi, dengan beraninya Samijo membawa Ratih ke kamar baru yang masih bau cat tembok.
Memang istri dari Jakarta sudah minta dibelikan ranjang berikut springbed-nya yang mendut-mendut.
Tapi sungguh terkutuk, yang njajal justru Samijo bersama WIL- nya untuk berhubungan intim bak suami istri.
Lihat juga video “Bupati Zaki Tinjau Banjir di Pakuhaji dan Kosambi”. (youtube/poskota tv)