Setelah didesak, akhirnya Kepala Bagian Kredit (AR) memberikan surat yang menyatakan bahwa Faridawati telah mengangsur pokok pinjaman sebesar Rp140 juta dan meminta agar Faridawati menambah setoran hingga Rp1 miliar, sebelum tanggal 28 Februari 2020 dan melunasi piutangnya paling lama tanggal 28 Desember 2020.
“Tetapi di bulan Februari 2020 telah berlangsung COVID-19 (pertama) , dan resmi dari pemerintah. Dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) resmi dari pemerintah dimulai awal bulan Maret 2020. Lalu awal Oktober 2020 terjual salah satu aset.Lalu kami ke Bank Cabang Bukittinggi untuk melakukan pembayaran pinjaman kami sebesar Rp1,7 miliar ternyata kredit kamu sudah lunas dan rumah yang menjadi agunan sudah terjual melalui lelang pada bulan Juli 2020, bahkan sudah dibalik nama tanpa sepengetahun kami,” cerita Faridawati.
Meski perkara Faridawati saat itu masih dalam proses pengadilan karena tengah melakukan upaya banding, tampaknya eksekusi menjadi jalan terakhir bagi penyelesaian kasus tersebut.
Meski rumah dan lahan Faridawati telah dieksekusi, bukan berarti ia berdiam pasrah menerima keputusan tersebut, bahkan sebaliknya kini Faridawati, Eviarons (suami) dan Bob Trivano (anak) telah menunjuk Didi Cahyadi Ningrat & Rekan untuk mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada bank pemerintah tersebut, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), Kota Bukittinggi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Agam.
Alasan gugatan tersebut dilayangkan karena telah menimbulkan kerugian yang menghilangkan hak para pengugat atas objek perkara a quo dimana perbuatan para tergugat.
Bahwa Pengugat I dan II adalah merupakan pasangan suami dan istri dan sekaligus Pemilik atas Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 66 M2 atas nama Faridawati dengan Surat Ukur Nomor 165/1992 Tanggal 10 Maret 1992 selua 2.830 yang terletak di Jorong Aro Kandikir, Kanagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumbar.
Bahwa Penguggat I dan II juga merupakan nasabah dari Tergugat I sejak tahun 1982 sampai 2016 yang secara bertahap melakukan transaksi kredit dengan Tergugat I sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya;
Bahwa dalam proses kredit yang sedang berjalan, pada tahun 2008 petugas Tergugat I datang menemui Pengugat I dan II agar kiranya dapat menukar Srtifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor: 183 atas nama H. Eviarons, Surat Ukur : 107/Tarok Dipo/2005 Tanggal 12 Juli 2005, Luas 39 M2 yang terletak di Kelurahan Tarok Dipo, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi yang merupakan jaminan kredit Penggugat I dan II karena telah habis masa berlakunya dan harus dilakukan proses perpanjangan.
Bahwa kemudian Pengugat I dan II menyerahkan 3 (tiga) buah Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Pengugat I dan II yang mana nilai objek tersebut secara materil melebihi 2x (dua kali) lipat dari nilai pinjaman/liquiditas kredit kepada tergugat I, namun semua itu ditolak oleh Tergugat I dengan alasan yang tidak logis dan jelas aturannya, serta tetap meminta agar dapat menyerahkan pengganti jaminan kredit tersebut tetap adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 66 atas nama Faridawati dengan Surtat Ukur Nomor: 165/1992 Tanggal 10 Maret 1992 seluas 2.830 M2 yang terlateka di Jorong Aro Kandikir, Kenagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
“Demi keadilan, gugatan tersebut sudah sepantasnya dilayangkan karena telah menimbulkan kerugian terhadap hak Penggugat.Selain itu, penggugat adalah nasabah yang terus menerus melakukan transaksi kredit dengan pihak Tergugat I sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya.Apa pun bentuknya, eksekusi dan lelang tersebut menyisakan masalah dan itu harus diluruskan demi keadilan. Dan wajar bila kemudian banyak pihak yang menuding proses lelang dan eksekusi tersebut sarat kejanggalan," ucap Pegiat Kebijakan Publik dan Praktisi Hukum, Dr. Amril Winarjaguna P, SH, MH, Rabu (12/1/2022).
“Bila upaya hukum sedang dilakukan dan prosesnya masih berjalan di pengadilan memang sudah selaiknya tidak diperbolehkan adanya tindakan hukum lain, sebelum adanya putusan tetap,“ jelas M. Reza Putra, SH, MH, CIL, Praktisi Hukum dan Pegiat HAM yang juga Ketua Umum YLBH Pusbakum Satria Advokasi Wicaksana (SAW).
Reza menambahkan, meski pengadilan berhak memutuskan, dan menilai suatu perkara namun pada hakekatnya harus berpedoman kepada kebenaran dan keadilan yang didasari bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada, bukan sebaliknya.