Masalah Baru Jika Menunda Pemilu

Senin 17 Jan 2022, 06:43 WIB

"Semua pihak haru bergerak cepat, termasuk yang selama ini berada di zona nyaman, untuk segera menyelesaikan masalah, ketimbang menciptakan masalah." -Harmoko-

SAYA meyakini semua pihak, apalagi para elite, sudah mafhum bahwa dalam konstitusi negara kita tidak dikenal adanya perpanjangan masa jabatan presiden.

Aturannya sangat jelas dan tegas, presiden menjabat maksimal dua periode sebagaimana pasal 7 UUD 1945. Dalam konstitusi negara kita, tidak ada alternatif menjadi tiga periode atau penambahan tiga tahun pada peiode kedua.

Jika mewacanakan penundaan pemilu 2024 hingga tahun 2027 yang  sekaligus memperpanjang masa jabatan presiden, berarti ada kehendak melakukan perubahan terhadap konstitusi negara.

Ini tak ubahnya membangun semangat mengamandemen UUD 1945,
bukanlah melaksanakan konstitusi negara hasil amandemen secara
murni dan konsekuen sebagaimana dijalankan selama ini.

Amandemen dimungkinkan seperti diatur dalam pasal 3 dan 37 UUD itu
sendiri. Sudah empat kali amandemen dilakukan. Melalui Sidang Umum MPR-RI pada 14-21 Oktober 1999, melalui Sidang Tahunan MPR-RI pada 7-18 Agustus 2000, pada 1-9 November 2001 dan terakhir pada 1-11
Agustus 2002.

Hanya saja, untuk mengubah konstitusi, selain harus memenuhi  persyaratan, juga ada alasan yang jelas. Perubahan tentu harus membawa kemajuan, adanya perbaikan dan percepatan mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana cita–cita negeri ini didirikan.

Menjadi pertanyaan apakah dengan menunda pemilu yang berarti  memperpanjang masa jabatan presiden akan menjamin masalah pandemi Covid-19 dapat segera diatasi berikut dampak yang menyertai.

Ingat, agenda pemilu masih dua tahun lagi. Menunda agenda pemilu  hingga tahun 2027, tak ubahnya “menyimpan” masalah, bahkan akan
“menumpuk” karena boleh jadi masalah baru bermunculan selama masa
penundaan.

Harapan dunia usaha memperpanjang masa jabatan presiden seperti disampaikan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, patut direnungi di mana urgensi dan relevansinya.

Adanya kekhawatiran dunia usaha yang mulai bangkit akan kembali  terpuruk kalau pemilu digelar tahun 2024, perlu dicermati. Tetapi di sisi lain terselip “keraguan” dapat memulihkan, setidaknya pemulihan ekonomi masih menghadapi banyak rintangan dalam dua tahun ke depan.

Mestinya dibangun optimisme, mengoptimalkan berbagai daya dan upaya
agar perekonomian semakin pulih, membaik dan tangguh akhir tahun
ini, paling lambat tahun depan. Sehingga situasi semakin kondusif, pemilu
pun dapat berjalan sesuai jadwal dengan aman dan lancar.

Kontribusi nyata dunia usaha ikut menciptakan stabilitas politik dengan  mengatasi berbagai dampak sosial ekonomi akibat Covid-19 sangat diharapkan. Ini sebagai bentuk kepedulian membangun negeri, sekaligus merespons adanya keberpihakan pemerintah yang telah memberikan insentif ratusan triliun rupiah kepada dunia usaha melalui program pemulihan ekonomi nasional selama dua tahun pandemi.

Bukan hanya pengusaha, tetapi seluruh komponen bangsa, wajib ikut
berkontribusi membangun negeri melalui peran dan fungsinya masing – masing. Para elite di lingkaran kekuasaan juga semestinya meneladani membangun kebersamaan mengatasi pandemi dan pemulihan ekonomi. Cepat bergerak, kerja dan kerja memprioritaskan penyelesaian masalah di sisa waktu 2.5 tahun masa pemerintahan, bukan mengusung
semangat memperpanjang masa jabatan yang pada akhirnya akan menyisakan masalah.

Saya percaya, jika seluruh potensi negeri disatu-padukan dalam
gerak dan langkah nyata, pemulihan ekonomi bukanlah mimpi.

Kuncinya membangun kekompakan, solidaritas dan soliditas semua lapisan  masyarakat, dari mulai yang di bawah, di tengah maupun yang di atas seperti dikatakan Pak Harmoko melalui kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Yah, semua harus bangkit dan bergerak cepat, termasuk yang selama ini berada di zona nyaman. Bergerak cepat menuntaskan pandemi,  menumbuhkan ekonomi lokal guna mempercepat pemulihan  perekonomian nasional serta mengangkat harkat dan martabat saudara–saudara kita yang terdampak pandemi.

Mari kita terapkan ajaran leluhur “Ngudi laku utomo kanti sentoso ing budi” yang artinya menghayati perilaku mulia, dengan berbudi pekerti luhur.

Banyak contoh perilaku mulia, di antaranya menjauhkan diri dari sikap
mau menang sendiri, mau benar sendiri demi keuntungan diri sendiri dan
koleganya, apa maunya sendiri demi memenuhi syahwat politiknya.

Lebih suka membuat masalah dan memperpanjang masalah, ketimbang
ikut serta menyelesaikannya, bukanlah cermin perilaku mulia dan berbudi
pekerti luhur. (Azisoko)

Berita Terkait

Harga Naik, Rakyat Tercekik

Kamis 20 Jan 2022, 12:46 WIB
undefined

Mitigasi Bencana

Kamis 20 Jan 2022, 13:41 WIB
undefined

Korupsi BUMN

Kamis 27 Jan 2022, 11:09 WIB
undefined

Macan Asia

Senin 31 Jan 2022, 07:00 WIB
undefined
News Update