JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Mentari pagi masih terasa menyengat kulit dan waktu terlihat menunjukkan pukul 09.00 WIB.
Tampak sosok pria lanjut usia (lansia) yang tengah memecah batu itu berada di jalan Cipinang Jaya II, Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur dan dia bernama Sarono (63), seorang tukang pecah batu tuna netra mampu sekolahkan 65 anak yatim Dhuafa.
Dengan memakai topi caping hijau, pakaian batik, dan celana panjang, Sarono dengan telaten meraba ragam batu baik berupa bata merah, hebel, maupun kerikil.
Kemudian diketok pakai palu yang ia gunakan untuk memecah bongkahan batu jadi butiran pasir.
"Kebanyakan orang disangkanya kita orang ngeliat, 'masa orang buta bisa begitu (pecahin batu) emang gak kepalu tangannya? terus hasilnya bisa rapi, "Orang-orang kadang kayak gak percaya gitu loh," keluh Sarono kepada PosKota di lokasi, Jumat (14/1/2022).
Sarono heran mengapa ada sebagian orang tak percaya kalau dirinya memang buta dan kini bekerja sebagai pemecah batu.
"Kita apa adanya, memang saya enggak bisa ngelihat (buta), kalau saya ngeliat saya enggak mau kerja begini, mending ngerongsok cari botol, kalau ngerongsok satu kilo, dua kilo terus dapat duit," kata Sarono.
Sarono berkata demikian sebab memang, penghasilannya sebagai pemecah batu tidak menentu.
Bahkan, dia mengaku tak mematok harga untuk satu karung pasir dari hasil memecah batu.
"Kalau kita kan enggak narget karena kita kan temanya menggapai rida Allah. Kadang-kadang ada yang ngasih Rp5ribu, ada yang ngasih Rp10 ribu, ada orang yang minta aja saya kasih kok," ungkap Sarono.
Pria kelahiran Kebumen, 19 Juli 1958 itu mengaku sudah bekerja sebagai pemecah batu sejak tahun 2007 silam.
Adapun batu yang dipecah merupakan puing bangunan yang berasal dari toko material dekat lokasi Sarono biasa bekerja yakni di Jalan Cipinang Jaya II.
"Ada bata merah, batako, hebel, kan kalau diketokin jadi pasir. Nah itu jadi pemecah batu sampai sekarang," ungkap Sarono.
Selama jadi pemecah batu, dengan kebutaan yang diderita, Sarono berjuang bukan hanya untuk kehidupan sang istri.
Namun ternyata, dibalik profesinya, siapa sangka jika Sarono memiliki 65 anak yatim dan dhuafa.
Dia biayai pendidikan puluhan anak yatim dan dhuafa tersebut dengan uang hasil dari pemberian para dermawan yang salut dengan kegigihan Sarono yang meski kehilangan penglihatan namun punya tekad untuk memperhatikan nasib anak yang kurang beruntung.
"Dana itu dari hamba Allah yang beriman, melalui saya, misalnya setiap hari Jumat ngasih Rp150 ribu, jadi kalau sebulan ada Rp600 ribu, bisa buat dua orang anak bayar sekolah," ungkap Sarono.
Lebih lanjut, sejauh ini Sarono berhasil membuat lima anak lulus dari SMK.
Sehingga kini kelima anak itu sudah tak ditanggung olehnya lantaran telah mendapat pekerjaan.
"Jadi kalau dulu itu kan ada 65 anak, yang udah lulus 5 anak, kini tinggal 60 anak," ucap Sarono.
Lihat juga video “Harga Minyak Meroket, Pedagang Cimol Menjerit”. (youtube/poskota tv)
Sarono menuturkan jika dirinya membiayai pendidikan anak yatim dhuafa itu hingga lulus SMK.
"Anak asuh paling kecil ada yang PAUD ya, paling gede itu SMK, jadi pas lulus SMK baru saya lepas," jelas Sarono.
Apabila ada yang memiliiki kemauan tinggi untuk lanjut kuliah, maka dia siap membantu, asalkan anak tersebut punya kemauan yang keras untuk terus menimba ilmu.
"Kalau lanjut kuliah, bila memang dia ada bakat, saya dukung, kalau dia pintar, tapi kalau enggak ya ngapain, buang-buang uang, mending kerja," ungkapnya.
Dia pun mengatakan jika ada anak yatim Dhuafa yang diasuhnya berkuliah di satu universitas wilayah Jatiwaringin, Kota Bekasi. (ardhi)