Oleh : Hasto Kristiyanto
PADA awal November 2021 dalam pertemuan bersama dengan Prof. Dr. (H.C.) Megawati Soekarnoputri di sela-sela sarapan pagi, ditunjukkan kepada saya Majalah Trubus yang mengangkat laporan menarik, bagaimana seorang warga negara Perancis sukses mengembangkan bisnis bambu dengan kultur jaringan dan secara rutin mengeskpor bambu ke 4 benua.
“Bukan saya anti asing”, kata Ibu Mega, “Namun mengapa harus orang asing yang melakukan penelitian bambu-bambu nusantara? Bukankah para peneliti Indonesia mengetahui bahwa jumlah varian bambu Nusantara mencapai lebih dari 100 jenis bambu.
Lalu mengapa hanya sedikit peneliti yang menaruh perhatian untuk mengembangkan bambu tersebut dengan kultur jaringan, yang terbukti juga layak secara ekonomis sebagai usaha bisnis yang menguntungkkan dan mampu menciptaan lapangan kerja serta mendatangkan devisa negara?
Mengapa hal tersebut tidak dilakukan oleh para peneliti dan pengusaha Indonesia? Bukankah di bumi Indonesia ini tersedia begitu banyak obyek penelitian yang nampaknya sederhana, namun jika dikembangkan secara serius menjadi begitu penting bagi kemajuan bangsa?”, ujar Presiden Kelima Republik Indonesia tersebut dengan nada penasaran, sedih, sekaligus penuh tanda tanya mengapa penelitian yang membumi dan berguna bagi kehidupan rakyat tidak banyak dilakukan oleh peneliti Indonesia.

Ilustrasi. (arif)
Dengan berbagai pertanyaan yang mendalam, kritis, dan menyentuh hal yang elementer tentang masih rendahnya budaya riset dan inovasi, pikiran saya terus berkecamuk. Dalam perenungan, muncul tanda tanya, mengapa sebagai bangsa, kita justru sering meributkan hal-hal yang sepele, namun melupakan hal yang mendasar dan strategis bagi kemajuan bangsa dan negara.
Bukankah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta riset dan inovasi harus ditumbuhkan sebagai budaya bangsa? Hal inilah yang melandasi kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
BRIN lahir karena penelitian dan inovasi belum menjadi kultur bangsa. Sejarah mencatat bagaimana pasca dijatuhkannya Bung Karno melalui konspirasi internasional antara kekuatan asing dengan sebagian elit bangsa yang terbuai oleh bujuk rayu kekuasaan, berdampak pada menurunnya semangat percaya pada kekuatan sendiri.
Demikian halnya semangat untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, juga tampak meredup. Jaman Presiden Soeharto misalnya, siapapun anak bangsa yang masuk dalam Departemen Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) dipersepsikan sebagai ”orang buangan”.
Bahkan LITBANG dianggap sebagai muara akhir karir seseorang sebelum pensiun. Anak bangsa yang masuk ke LITBANG bahkan sering dikatakan “suLIT BerkemBANG”, karirnya mentok dalam Departemen LITBANG yang hanya menjadi sekedar ornamen bagi simbol kemajuan. LITBANG pun tampil semu, kehilangan daya dorong kebijakan, akibat desainnya yang sekedar menjadi tempat buangan.
Pada periode Bung Karno, tanpa bermaksud mengedepankan romantisme masa lalu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pijakan kemajuan bangsa. Pada saat itu, Bung Karno sering mendengungkan pentingnya semangat “berdiri di atas kaki sendiri” (berdikari) dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan supremasi penguasaan IPTEK menjadi credo kemajuan.