Namun ketika tugas tersebut dijalankan dengan penuh keyakinan dan keteguhan di dalam menghadapi aneka bahaya, akhirnya Bima dapat memperoleh anugerah air surgawi tersebut. Dalam proses itu Bima menghadapi berbagai ujian, jatuh-bangun, bahkan kebimbangan.
Ketika Bima sudah berada pada puncak batas kemampuan, dan tetap tidak mendapatkan apa yang ia cari, keluhuran budinya membuat ia berpasrah pada Sang Pencipta. Pada saat itulah, ketika hatinya meluruh dalam keheningan, rahmat dewata terjadi. Bima bertemu dengan Dewa Ruci.
Keimanan Bima mampu mengatasi berbagai hambatan, dan memutar-balikkan hukum alam. Dalam keraguannya sebagai satria tinggi besar dan harus memasuki tubuh Dewa Ruci yang jauh lebih kecil, keyakinannya membuat segala sesuatunya menjadi mungkin. Bima menyatu dalam tubuh Dewa Ruci, menyempurnakan hakekat Manunggaling Kawula Gusti. Dalam keajaiban itu, ia melihat seluruh alam raya dalam keseimbangan, meski segala sesuatunya serba terbalik.
Dari cerita Bima Suci tersebut, keyakinan bahwa ”tidak ada kebenaran yang mendua”, juga muncul melalui suatu proses. Manunggaling Kawulo Gusti dipahami melalui proses perjuangan yang disertai sikap pasrah diri pada kehendak Ilahi. Dalam proses ini pencapaiannya diukur dari kemampuan manusia untuk merasakan esensi kesatupaduan dengan Tuhan, Sang Pemilik Kebenaran Sejati.
Ketika keseluruhan falsafah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa telah hidup, bahkan muncul dalam berbagai bentuk narasi dan ekspresi kebudayaan, maka ketika ada benturan di lapangan, meski masih dalam bentuk embrio intoleransi sekalipun, hal itu tidak boleh dibiarkan. Sebab intoleransi merupakan akar dari radikalisme dan terorisme.
Radikalime dan terorisme sangatlah berbahaya. Demikian halnya berbagai bentuk intoleransi. Apa yang terjadi dengan bom bunih diri yang dilakukan oleh satu keluarga pada hari Minggu, 13 Mei 2018 di Surabaya harus dilihat sebagai puncak radikalisme ketika ideologi kegelapan yang anti-kemanusiaan tersebut bekerja. Para pelaku bom bunuh diri mengambil prakarsa untuk membunuh demi keyakinan ekstrim atas dasar pemahaman yang salah terhadap nilai-nilai ketuhanan.
Dengan demikian ketika Kepolisian Republik Indonesia melalui Densus 88, dalam upaya menjaga tertib hukum, mengayomi masyarakat dari berbagai ancaman radikalisme dan terorisme, lalu melakukan penangkapan berdasarkan fakta-fakta hukum yang kuat tentang keterlibatan seseorang atau sekelompok orang di jejaring radikalisme dan terorisme, maka tugas pasukan anti teror tersebut ditempatkan sebagai jalan yang menjamin keselamatan bangsa dan negara di atas segalanya.
Oleh karena itu, siapa pun yang masuk organisasi yang dinyatakan terlarang, terlebih dengan ajaran dan doktrin yang menghancurkan keharmonian, mengancam kehidupan, serta mengandung benih-benih yang membahayakan keutuhan dan keselamatan bangsa, maka aparat penegak hukum harus bertindak tegas kepada siapa pun, dan di organisasi manapun mereka berada.
Seluruh tugas dan kewajiban Densus 88 didasarkan pada legalitas hukum. Densus 88 juga mendapatkan legitimasi kultural. Sebab falsafah, nilai-nilai yang hidup, dan berbagai pranata sosial yang mengedepankan toleransi, sikap saling gotong royong, meyakini hakekat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa telah hadir dan menyatu dalam kultur bangsa. Intoleransi, radikalisme dan terorisme bertentangan dengan falsafah dan kultur bangsa.
Jadi seluruh aparat penegak hukum bertindaklah tanpa ragu. Sebab ideologi kegelapan yang anti kemanusiaan tersebut telah merembes dalam banyak kehidupan. Ia juga masuk dalam dunia pendidikan, mengajarkan berbagai bentuk intoleransi dalam dunia pendidikan yang seharusnya memerdekakan alam pikir. Dunia pendidikan selalu menyatu dengan kebudayaan.
Pendidikan dan kebudayaan adalah cermin dan sekaligus ukuran tingkat peradaban suatu bangsa. Pendidikan yang memerdekakan bukanlah tanpa akar. Ia justru bertumbuh dalam akar kebudayaan bangsa. Karena itulah dunia pendidikan harus mengajarkan pentingnya kearifan lokal.
Dunia pendidikan ikut menjabarkan sesanti Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa menjadi praktek dalam kehidupan bersama. Dalam proses ini pendidikan akan membuka seluruh ruang kebenaran sebagai kebenaran. Kebenaran sejati tidak membunuh rasionalitas. Tetapi kebenaran sejati dengan budi pekerti dan kerendahan hati akan melahirkan kebijaksanaan.