SERANG, POSKOTA.CO.ID - Di balik ambisinya membangun Unit Sekolah Baru (USB) dengan segala fasilitasnya yang baik, terselip kisah unik yang sampai sekarang masih membekas dan memotivasi.
Adalah Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) yang mempunyai kisah sulit di masa kecilnya ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) 60 tahun silam.
Tempat WH kecil sekolah kala itu minim akan sarana dan prasarana. Jangankan itu, untuk bisa belajar nyaman di kelas saja sepertinya susah didapat.
Sebab ketika hujan turun, suasana belajar sudah tidak kondusif lagi karena dimana-mana terjadi bocor.
Termasuk Sarpras Mandi, Cuci dan Kakus (MCK) yang tidak pernah ada sampai WH lulus SD kalau itu, baik yang untuk guru maupun murid.
Sebagai penggantinya, untuk tempat buang air kecil para guru biasanya nyumput di balik pohon besar yang berada dekat dengan sekolah. Sedangkan bagi siswa, tidak ditentukan dimana saja.
Suatu hari, WH kecil tak kuat menahan hasrat ingin pipisnya. Tak berpikir lama, karena sudah kebelet, ia pun lari ke pohon besar tempat biasa guru buang air kecil.
Sedang enak buang air kecil, dari sebelah terdengar suara kencang memarahinya. Rupanya itu suara dari salah satu gurunya yang juga sedang buang air kecil.
"Beliau memarahi saya, karena mungkin kecipratan. Tidak hanya memarahi, bahkan sampai memukul sehingga waktu itu saya pulang dalam kondisi nangis," cerita WH.
Niat hati ingin mengadu kepada ibunda Siti Rohana, yang berada di rumah, namun yang terjadi justru sebaliknya. WH kembali mendapat makian dari sang bunda.
"Kamu ngapain buang air di situ, kan udah tau itu tempat guru. Kenapa tidak cari tempat lain," ucap WH menirukan kata-kata ibunya yang masih ia ingat.
Padahal, WH sengaja pulang dengan isak tangis karena dirinya ingin mengadukan sikap gurunya di sekolah kepada ibundanya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
"Itu kalau anak zaman sekarang, pasti sudah dilaporkan ke APH atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru. Kalau dulu ga sampai gitu, karena melihatnya itu sebagai sebuah proses pendidikan," ujarnya.
WH menuturkan dirinya dibesarkan dari bapak yang hanya berprofesi sebagai guru SD, sedangkan ibunda merupakan Ibu Rumah Tangga (IRT) yang penuh dengan kesabaran dalam menjalani kehidupan.
Dari gaji seorang guru SD kala itu hanya bisa untuk membeli beras sampai satu minggu ke depan. Sedangkan minggu-minggu berikutnya bapak hanya bisa berharap dari doa yang ia panjatkan seraya melakukan berbagai ikhtiar.
"Tapi meskipun kondisi kami dalam kesusahan, bapak selalu mengajarkan untuk senantiasa berbagi. Kata-kata yang masih saya ingat kala itu bapak pernah berpesan, kita masih beruntung bisa mempunyai stok beras untuk satu minggu, coba di luar sana, banyak yang lebih susah dari kita," kenangnya.
Untaian pesan moral yang begitu indah dan tulus itulah yang kemudian menjadi dorongan semangat WH untuk terus belajar dan berbagai. Belajar sampai sukses sehingga bisa berbagi lebih banyak.
"Dan itu pula yang mendorong saya untuk bisa membuat kebijakan untuk mensejahterakan masyarakat lewat pendidikan. Alhamdulillah kemudian saya dipercaya untuk menduduki jabatan yang bisa membuat dan memutuskan kebijakan, dari mulai Lurah, Camat, Walikota sampai sekarang Gubernur," ungkapnya.
Dengan sejumlah jabatan strategis itu, WH mendedikasikan seluruh tenaga dan pikirannya untuk dunia pendidikan. Bagaimana sekolah-sekolah harus nyaman dan bagus sehingga para siswa bisa belajar dengan maksimal.
Begitu pula dengan Sarpras-nya ia bangun dengan jumlah yang tidak sedikit. Untuk guru, siswa, laki-laki dan perempuan semuanya dibedakan. Hal itu agar tidak terjadi lagi kisah yang dulu ia alami terulang di masa sekarang.
"Waktu jadi Walikota saya bangun banyak sekolah, kantor kelurahan, kecamatan. Supaya bagus saya buat bertingkat. Lahannya juga saya tambahkan. Begitu juga dengan tingkat SMA. Karena saya ingin anak-anak generasi sekarang, bisa bersaing di kancah internasional dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat," pungkasnya.
Selain itu, WH juga menaikkan gaji dan tunjangan ASN di Pemprov Banten, para guru honorer, serta bantuan kepada para kiayi dan Ponpes. Hal itu dilakukan semata agar para pendidik ini bisa hidup sejahtera dan maksimal dalam mendidik generasi-generasi penerus di Banten.
"Tapi jangan lupa, di balik rezeki yang kita dapatkan, harus kita sisihkan untuk mereka yang berhak menerima. Jangan dimakan sendiri, berbagi," tutupnya. (kontributor Banten/luthfillah)