Kisah Guru Honorer Berupah Minim Menyambi Sebagai Merbot Masjid Baitul Asri Jatiwaringin

Rabu 13 Okt 2021, 21:56 WIB
Nurdin, seorang guru honorer di SDN Cipinang Melayu 08 Pagi yang juga menyambi sebagai guru ngaji (ist) 

Nurdin, seorang guru honorer di SDN Cipinang Melayu 08 Pagi yang juga menyambi sebagai guru ngaji (ist) 

Kisah Guru Honorer Berupah Minim Menyambi Sebagai Merbot Masjid Baitul Asri Jatiwaringin

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kisah guru honorer yang satu ini makin menguak betapa beratnya sosok guru yang berupah minim tak setara dengan apa yang dikerjakan,

Sejak menjadi mahasiswa, Nurdin, telah memilih untuk menjadi guru dengan status honorer. Sebab, upah yang minim, dia pun menyambi jadi merbot Masjid Baitul Asri, Jatiwaringin, Bekasi.

Lulusan STAI Azziyadah Klender, Jakarta Timur tahun 2015 itu mengaku sudah menjadi guru honorer sejak tahun 2012, saat dirinya masih berstatus mahasiswa.

Kala itu, Nurdin mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Hikmah Jatimakmur Pondok Gede, Kota Bekasi selama enam tahun, dari 2012 hingga 2018.

Dia pun mengajar enam kelas dari Senin sampai Sabtu, dengan durasi mengajar empat sampai enam jam per harinya.

"Dulu saya mengajar di sekolah itu (MI Nurul Hikmah) hampir semua kelas, soalnya cuman enam kelas pada waktu itu, saya mengajar akidah akhlak, kemudian Al-Quran Hadis, dan pelajaran fiqih," jelas Nurdin kala dihubungi Poskota, Rabu (13/10/2021).

Soal upah, dia mengaku awalnya hanya diberi gaji sebesar Rp200 ribu per bulan kemudian naik sedikit menjadi Rp400 ribu. Dia bersyukur, namun yang namanya kebutuhan tetap tak sebanding dengan upah yang diterima.

Akhirnya, pada 2013, Nurdin memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan, di antaranya menjadi guru kelompok musik hadrah.

"Saya ngajar hadrah, pada waktu itu lagi ramai-ramainya, hampir empat tim dalam seminggu, dapat uang sekitar Rp900 ribu," katanya.

Namun sayang, hal itu hanya berlangsung selama setahun. Selanjutnya, Nurdin yang masih lajang mendapat tawaran untuk menjadi seorang merbot di Masjid Baitul Asri, Jatiwaringin, Kota Bekasi pada tahun 2016.

"Karena saya sebagai perantau yang datangnya dari kampung, kemudian mau ngontrak enggak punya duit  kemudian saya istilahnya sekalian saya beramal sekalian juga saya menempati tempat yang disediakan di masjid (sebagai rumah)," jelasnya.

Dia pun mesti mengatur waktu serta peran ketika menjadi guru dan merbot masjid. "Jadi merbot itu tugasnya ngepel masjid, membersihkan lingkungan masjid, menyapu, membersihkan toilet masjid, sama imam salat," ungkapnya.

Nurdin mengaku upah sebagai merbot sebesar Rp1,3 juta. Uang itu berasal dari iuran warga setempat. "Pendapat merbot Rp1,3 juta terus ditambah ngajar sekolah swasta Rp400 ribu, jadi pendapatan per bulan saat itu Rp1,7 juta," ungkapnya.

Lantas, Nurdin pun juga menjadi seorang penceramah dalam acara pengajian. Salah satunya saat dia dipanggil ceramah di SDN Cipinang Melayu 08 Pagi.

Dari situ, dia mendapat informasi bila di sekolah tersebut sedang mencari guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.

"Setelah berceramah di SDN Cipinang Melayu 08 Pagi, katanya ada lowongan mengajar di sana, kemudian saya menaruh lamaran dan Alhamdulillah, saya bisa mengajar di sana, dari tahun 2018," terangnya.

Di sekolah tersebut, Nurdin mengajar kelas 2A-2B, 3A-3B, 4A-4B, 5A-5B. Dengan durasi enam jam sehari, mulai dari Senin hingga Jumat.

"Di SDN Cipinang Melayu 08, waktu itu saya dapat Rp1,5 juta pas tahun 2018, kalau sekarang naik Rp500 ribu, jadi Rp2 juta," terangnya.

Kendati gajinya sebagai guru sudah lebih baik, namun Nurdin belum melepas profesinya sebagai merbot masjid. Sampai pada bulan September 2020, dengan alasan mau menikah, Nurdin berhenti jadi merbot.

Automatis, Nurdin yang kini memiliki seorang anak berusia empat bulan dan seorang istri sudah memiliki tanggungan keluarga. Tentu dia mesti memutar otak untuk mencari kerja sampingan lain guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Diketahui Nurdin sejak 2018 sudah menjadi muthawif atau pemandu ibadah umrah. Kala baru menjadi muthawif, selama setahun dia pernah memperoleh pendapatan sebesar Rp16 juta sebab, satu jemaah umroh yang datang kepadanya dihitung upah Rp1 juta.

Lantaran pandemi menerpa Indonesia pada 2020, maka sejak 27 Februari 2020, perusahaan travel tempatnya bekerja tutup sementara.

"Kalau keuangan di tengah pandemi itu pas-pasan, sebab sampingan kita enggak jalan, terus pengajian yang biasa kita kaji juga tutup, (layanan) umrah juga saat ini baru dibuka dan jemaah masih belum berani berangkat karena (masih) pandemi," ucapnya.

Lantas Nurdin mencoba untuk menyiasatinya dengan cara memfokuskan pengeluaran keuangan untuk hal yang penting saja.

Selain itu, dia juga menjadi guru ngaji serta Khatib salat Jumat. Meski demikian, kata Nurdin, profesi itu bukanlah menjadi cara untuk mendapat uang namun lebih sebagai amal ibadah.

"Untuk saat ini sampingan paling jadi guru ngaji, kemudian mengisi pengajian mingguan, atau setiap Jumat jadi khatib (salat) Jumat," ucapnya.

"Kan (upahnya) kalau begitu enggak tentu, paling kalau pengajian malam anak-anak, kadang dapat Rp300 ribu kadang Rp200 ribu, jadi enggak menentu," imbuhnya.

Kendati upahnya sebagai guru masih minim guna memenuhi kebutuhan keluarga, namun dia tetap bersyukur dan memandang bahwa profesi guru yang tugasnya mengajar adalah suatu kewajiban dan perbuatan yang mulia.

Walaupun dia berharap juga, pemerintah memerhatikan nasib para guru honorer yang selama ini secara upah memang masih tergolong minim.

"Harapan ke depan biar sehat aja agar bisa menjalani aktivitas sehari-hari dan wabah Corona ini bisa segera berakhir supaya tempat usaha bisa buka lagi," ungkapnya (cr02) 

Berita Terkait

News Update