DEPOK, POSKOTA.CO.ID - Jaksa penuntut umum menghadirkan dua orang saksi ahli dalam kasus penyebaran berita bohong soal babi ngepet di Pengadilan Negeri Depok, Selasa (12/10/2021).
Persidangan yang berlangsung secara daring itu menghadirkan dua orang saksi ahli di antaranya ahli bahasa Prof. Dr. Andika Duta Bachari dan ahli sosiologi Dr. Trubus Rahardiansyah.
Dalam persidangan yang seharusnya dihadiri anggota majelis 1, tetapi salah satu anggota, yakni Yuanne Marrieta ternyata berhalangan hadir karena masih dalam keadaan berduka. Sehingga untuk sementara digantikan oleh Ramon Wahyudi.
Prof. Dr. Andika Duta Bachari merupakan salah satu guru besar pendidikan bahasa dan sastra dari salah satu perguruan tinggi negeri, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Keahliannya adalah dalam bukti linguistik forensik yaitu bahasa sebagai alat bukti kejahatan.
"Hal hal yang berkaitan dengan keramaian cenderung akan menimbulkan keributan, tetapi keributan atau keonaran belum tentu menimbulkan kontak fisik dan kericuhan," ujar Andika kepada Ketua Majelis Hakim, Iqbal Hutabarat yang bertanya mengenai definisi dari keramaian dalam persidangan.
Prof. Andika menambahkan bahwa terdapat tiga prinsip dalam berkomunikasi di ruang publik, yakni ada prinsip kualitas dimana komunikasi harus sesuai dengan realita.
Lalu prinsip kuantitas dimana sebuah informasi tidak menimbulkan perasaan penasaran disampaikan secara tuntas dan yang terakhir prinsip cara, dimana dalam menyampaikan informasi harus sesuai dengan kultur lingkungan.
"Dalam kasus ini ketika pemberi orasi berita bohong di depan publik dan setelah melakukan hal tersebut langsung mengumumkan permohonan maaf maka deliknya sudah gugur," ungkap Andika dalam persidangan di ruang 3 pengadilan negeri Depok.
Saksi kedua yang dihadirkan oleh (JPU) yaitu Dr. Trubus Rahardiansyah merupakan dosen tetap fakultas hukum Universitas Trisakti Jakarta, keahliannya adalah dalam bidang sosiologi hukum.
"Berita bohong dalam sosiologi hukum adalah menyiarkan informasi yang tidak sesuai dengan realita atau menyesatkan masyarakat," tutur Trubus kepada ketua majelis hakim Iqbal Hutabarat.
Selanjutnya Trubus mengungkapkan terdapat tingkatan dari bentuk keonaran, dan tidak hanya menimbulkan kerugian fisik tetapi juga dapat menimbulkan kerugian non fisik.
"Keonaran adalah kondisi tidak kondusif pertama, lalu tindakan selanjutnya adalah naik ke tingkat kekacauan, selanjutnya adalah tingkat prilaku anarkis dan terkahir adalah tindakan anomie merupakan tingkat puncaknya," ujar Trubus.
"Di dalam delik orang berkerumun dalam kasus ini tidak ada kerugian materil tetapi terdapat kerugian kecemasan perasaan secara psikis," pungkasnya
Terdakwa Adam mengajukan pertanyaan kepada Trubus sebagai ahli sosiologi, bahwa tindakan yang dilakukan bisa terlepas dari jeratan hukum, karena telah melakukan permohonan maaf kepada masyarakat karena telah menyebarkan berita bohong.
"Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi permintaan maaf ini dapat diterima, tetapi jika berkaitan dengan hukum permintaan maaf tidak dapat diterima begitu saja, tetap proses hukum harus terus berjalan," ungkap Trubus memberikan tanggapan dari pertanyaan terdakwa Adam
Usai mendengarkan keterangan oleh para saksi ahli yakni ahli bahasa dan juga ahli sosiologi terdakwa Adam Ibrahim tidak keberatan atas kesaksian yang diberikan oleh ke dua saksi.
Selain itu Kejaksaan negeri Depok, seluruh saksi ahli yang dihadirkan telah menerangkan atau didapatkan fakta telah terjadi perbuatan pidana sesuai apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum, yakni Terdakwa telah melakukan perbuatan Pidana Pasal 14 Ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 14 Ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
"Persidangan akan dilanjutkan kembali pada, Selasa (26/10/2021), dengan agenda pemeriksaan terdakwa," tutup PJU Alfa Dera kedalam keterangan persnya. (Angga/PKL02)