JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sodikin (41), tampaknya patut menjadi sosok yang mendapat perhatian. Selama 17 tahun dia mengabdi sebagai guru honorer sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Namun, gaji yang minim membuat Sodikin menyambi jadi tukang ojek guna memenuhi kebutuhan keluarga.
Sodikin menjelaskan, bahwa dia sudah terjun ke dunia pendidikan sejak 1999. Pada waktu itu, posisi Sodikin sebagai tenaga tata usaha honorer di SMP Negeri 24 Sumedang.
Pada kala itu, Sodikin juga sembari kuliah di Universitas Sebelas April Sumedang jurusan Pendidikan Agama Islam.
"Saya lulus tahun 2004, terus langsung terjun ke dunia pendidikan jadi guru," ungkapnya kala dihubungi Poskota.co.id, Senin (11/10/2021).
Lantas, Sodikin pindah dari Sumedang ke Kabupaten Karawang untuk bekerja sebagai guru di SDN Cibalongsari 01 Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang.

Sodikin ketika saat mengajar anak-anak di Sekolah Dasar (SD). (Foto/Ist)
"Ngajar pertama kali di SDN Cibalongsari 01 Kecamatan Klari Kabupaten Karawang, hingga saat ini masih mengajar," tuturnya.
Di sana, Sodikin mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, relevan dengan jurusan kuliah dulu.
Pun dia mengajar murid kelas satu hingga enam dari hari Senin sampai Sabtu dengan waktu mengajar 145 menit per harinya.
Sodikin bersyukur bisa bertemu dengan anak-anak dan memberikan mereka ilmu pengetahuan.
Namun, tak dimungkiri bahwa gaji guru honorer pun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Dengan gaji 1,2 juta per bulan, Sodikin mesti memberikan makan satu anak yang kini menginjak kelas tiga MTS/SMP dan seorang istri, belum lagi untuk bayar listrik dan yang lainnya.
"Ya kalau dibilang sejahtera sih, jauh dari kata sejahtera," jelasnya.
Bahkan, gaji 1,2 juta itu baru ia terima sejak tahun 2020. Dia mengenang gaji saat baru jadi seorang guru honorer.
"Pas awal jadi guru honorer itu Rp50 ribu per bulan, itu tahun 2004," katanya.
Seiring berjalannya waktu, pada 2013 sampai 2017, dia mengaku diberi upah sebesar Rp600 ribu, kemudian tahun 2018 hingga 2020, naik menjadi Rp800 ribu.
"Dari 2020 sampai saat ini baru diberi upah Rp1,2 juta," terangnya.
Kendati demikian, kenaikan gaji tersebut tak cukup memenuhi kebutuhan. Walhasil, Sodikin mencari peluang kerja lain, yakni sebagai tukang ojek online.
"Ya mau gimana lagi? Mencukupi kebutuhan sehari-hari ya dari situ sumbernya (jadi tukang ojek), kalau (gaji) dari sekolah kan dapat sebulan sekali paling habis buat setoran motor atau setoran apa gitu," tuturnya.
Bahkan, sebelum adanya aplikasi ojek online, Sodikin sudah berprofesi sebagai tukang ojek konvensional yang kerap menanti penumpang di pangkalan ojek, perempatan, atau pertigaan jalan.
"Kan dulu belum ada (ojek) online, belum ada Gojek, belum ada Grab, dulu saya ojek konvensional, lah. Nah terus saya gabung jadi ojol (ojek online) itu 2019, baru saya gabung ke Grab," jelasnya.
Dengan gigih, selepas mengajar, Sodikin langsung mengojek. Jam kerjanya sebagai tukang ojek mulai dari pukul 14.00 WIB hingga sekira pukul 19.30 WIB.
"Kalau hari Sabtu atau Minggu bisa lebih malam, karena hari libur kan," tuturnya.
Di sisi lain, dia mengaku jika pendapatan hasil mengojek itu tak tentu.
"Ya tergantung kitanya sih, kalau dari siang sampai malam ya dapet, lah, Rp100 ribu atau Rp120 per hari, ya kalau kitanya dari siang sampai sore aja ya paling Rp50 - Rp70 ribu, enggak tentu sih, kayak orang dagang aja," ungkapnya.
Tatkala pandemi menerpa Indonesia di bulan Maret 2020, saat itu terjadi pembatasan mobilitas warga termasuk dilarangnya ojek online untuk beroperasi.
Hal tersebut dilakukan sebagai pencegahan penularan virus Covid-19.
"Sempat berhenti (ngojek), awal Corona tahun 2020 sempat total enggak bisa beroperasi itu, dari semua jenis layanan. Dulu kan enggak bisa bawa orang, cuman Grab Food (antar makanan) atau Express (antar barang/paket)," ujarnya.
Saat itu, dia pun jadi tukang penjual singkong hasil panen kebun tetangga.
"Jual singkong, tapi singkongnya milik orang, kita cuman jualin doang ke pasar, nanti bagi hasil," ucapnya.
Saat menjadi tukang ojek, Sodikin mengeyampingkan gengsi atau malu kepada teman-temannya.
Sebab dia tahu, jika pilihannya menyambi sebagai tukang ojek guna memenuhi kebutuhan keluarga.
"Kalau saya sih Alhamdulillah, enggak pernah gengsi atau malu, terus rekan-rekan juga pada tahu saya sambilannya ngojek juga, terkadang sesama guru kalau perlu jasa (ojek) saya kadang suka ngontak 'tolong ojekin saya ke sana'," terangnya.
Sodikin mengakui jika hasil mengojek, agak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, namun tak bisa cukup secara penuh.
"Lebih mencukupi sih karena kebutuhan sehari-hari, kan, di kantor, juga dari hasil ngojek itu," pungkasnya. (Cr02)