Trihita Karana 

Sabtu 09 Okt 2021, 07:00 WIB

Kesadaran terhadap pentingnya falsafah yang hidup itulah yang oleh Bung Karno digali agar lahir dasar Indonesia merdeka yang benar-benar otentik, berakar kuat pada peradaban bangsa. Itulah yang disebut Pancasila.

Dengan kekhasan sistem kebudayaan saja, di Solo, Jogja, dan Bali bisa menjadi daya hidup sekaligus benteng kultural, sehingga meskipun jutaan pendatang singgah setiap tahunnya, namun Bali tetaplah Bali. Jutaan pengunjung di Pulau Dewata tersebut selalu merasa mendapat energi, bagaikan baterai handphone yang sudah mau habis (lowbatt), kemudian dicharge dan mendapatkan daya hidup kembali. Di situlah nampak secara empiris hebatnya kebudayaan sebagai identitas kultural. 

Jika kebudayaan saja mampu menjadi identitas kultural, apalagi Pancasila. Pancasila sebagai falsafah, pandangan hidup, dan dasar pengaruhnya jauh lebih besar. Keseluruhan nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah, dan keadilan sosial, seharusnya menjadi identitas nasional bangsa, jauh di atas paham individu, golongan, suku, agama, ras, gender, dan status sosial.

Bhinneka Tunggal Ika menjadi selalu relevan dalam alam keIndonesiaan yang begitu beragam. Kulinernya beragam, flora dan faunanya juga sangat beragam, begitu juga kondisi geografis antar pulau yang begitu beragamnya. Di atas wilayah tanah air Indonesia itulah berdiam manusia Indonesia yang oleh Bung Karno dibangkitkan kesadarannya sebagai satu jiwa, satu identitas, senasib sepenanggungan, dan satu cita-cita.

Sungguh sangat indah ketika Bung Karno menggambarkan dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekedar satu kesatuan geografis. “Dari Sabang Sampai Merauke merupakan satu kesatuan kebangsaan, kenegaraan, ideologis, dan cita-cita yang kongruen dengan tuntutan budi nurani manusia atau social consciousness of man”, kata Bung Karno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1963.

Indonesia dalam pandangan Bung Karno yang seperti ini, akan melahirkan begitu banyak khasanah kebudayaan yang bisa diangkat ke permukaan. Dari Aceh hingga Papua, begitu banyak kekayaan budaya otentik nusantara yang bisa diangkat. Semua mendapat tempat dalam Pancasila. 

Pancasila dengan demikian harus dilihat lebih lanjut juga sebagai sistem kebudayaan negara bangsa Indonesia. Konsekuensinya, Pancasila harus mewujud hingga menjadi cara berpikir, cara bertindak, dan juga mendasari setiap kebijakan politik negara. Habitus Pancasila menjadi perilaku setiap warganya.

Jika ini berlangsung secara kolektif, akan melahirkan energi positif. Di dalam Pancasila itulah falsafah Memayu Hayuning Bawana, Trihita Karana, dan berbagai local wisdom lainnya mendapat tempat untuk tumbuh dan berkembang. 

Pancasila dimensinya sangat luas, ideologi, politik, hukum, ekonomi gotong royong, dan kebudayaan. Di dalam Pancasila ada nasionalisme dan patriotisme. Sebab Pancasila itu digali melalui kontemplasi atas dasar rasa cinta pada tanah air. Hanya dengan rasa cinta kepada tanah air,

Pancasila dapat dipahami seluruh esensinya. Di sini Pancasila tidak hanya menjadi dasar dan jalan bagi cita-cita masyarakat adil dan makmur, namun Pancasila juga menjadi jalan bagi terwujudnya persaudaraan bangsa-bangsa lain di dunia.

Jadi banggalah dengan sistem kebudayaan nusantara yang mewujud dalam Pancasila. Trihita Karana menjadi penting, sebab keseluruhan dialektika yang terjadi, dalam hukum alam, pada akhirnya akan menuju pada keseimbangan. Merdeka!!!

Berita Terkait

Lomba Pencitraan

Senin 27 Des 2021, 06:30 WIB
undefined

News Update