Umat Islam Pilih Pemimpin Non-Muslim, Habib Ali Zaenal: Bagaimana Bisa Kita Memilih Orang yang Tak Percaya Kepada Allah SWT?

Kamis 07 Okt 2021, 16:34 WIB
Saran Habib Ali Zaenal untuk Memilih Seorang Pemimpin (Foto: Majelis Ta'lim Darul Murtadza/Tangkapan Layar)

Saran Habib Ali Zaenal untuk Memilih Seorang Pemimpin (Foto: Majelis Ta'lim Darul Murtadza/Tangkapan Layar)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Habib Ali Zaenal Abidin menjelaskan tentang bagaimana hukumnya umat Islam memilih seorang pemimpin yang merupakan non-muslim.

Menurutnya, yang jelas umat Islam tidak diperbolehkan memilih seorang pemimpin beragama non-muslim.

Ulaa asal Jawa Timur yang menetap di Malaysia itu menegaskan bahwa permasalahaan bukan berasal dari manusia, tetapi fokusnya kepada iman sang calon pemimpin.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Habib Ali Zaenal sebagaimana dikuip PosKota.co.id dari kanal YouTube ‘WADI MEDIA’ dengan konten video berjudul "Apa Kata Ustadz Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim".

“Bagaimana akan mempercayakan kepada orang, yang kepada Allah tak beriman kita mau percaya kepada dia bagaimana mau menguruskan kita?,” kata Habib Ali Zaenal.

Namun, menjadi sebuah pengecualian apabila kita sebagai umat Islam berada di suatu tempat yang mayoritasnya berisi kaum non-muslim.

Jika konsepnya seperti itu, Habib Ali Zaenal memperbolehkan untuk memilih karena umat Islam hanya mencari kebebasan untuk beribadah.

Asalkan umat Islam itu sendiri tidak mempunyai niat untuk mengubah siapa yang akan berkuasa.

“Tapi kalau ditempat yang semuanya orang islam, bagaimana yang akan menguruskan adalah bukan Islam?,” imbuh Habib Ali Zaenal.

“Problemnya bukan manusianya, tapi masalah kepercayaan diri orang itu sendiri kepada Allah tak beriman bagaimana kita mau serahkan kepercayaan kepada orang yang tak percaya kepada Allah SWT,” tambahnya.

Akan tetapi dalam Batasan-batasan tertentu boleh saja umat Islam memilih pemimpin non-muslim.

Dicontohkannya, Nabi Muhammad SAW pernah bekerjasama dalam perjanjian kehormatan (Hilful Fudhul).

Nabi Muhammad SAW disebutnya pernah bekerjasama dengan golongan Musyrikin Quraisy seperti Abu Lahab dan Abu Jahal.

Hal itu disebabkan karena Hilful Fudhul, yakni suatu peristiwa yang terjadi di zaman baginda Rasullullah sebelum Nabi diangkat menjadi nabi.

Awlanya seorang Baduy datang membawa unta dan dijualnya, lalu dibeli oleh seorang Quraisy dan yang membeli tidak mau membayarnya.

Karena pada saat itu masih berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah maka jika sang penjual menuntut kaum Quraisy maka dia akan dihukum.

Maka dari itu dibuat gerakan Hilful Fudhul, tujuannya untuk menolong orang-orang yang dizalimi.

Nabi Muhammad diketahui bergabung dalam kelompok itu dan diangkat menjadi Nabi di Madinah.

Meskipun yang membuat kelompok Hilful Fudhul bukan Umat Islam, tetapi karena melibatkan membantu hak orang-orang yang dizalimi maka Nabi mau bergabung ke dalam kelompok tersebut.

Pengecualian apabila dalam hal-hal yang bersifat kedudukan tertinggi, di masyarakat yang semuanya orang-orang beriman maka tidak boleh menjadikan kaum Yahudi atau Kristen sebagai penolong.

“Masing-masing itu daripada golongan Yahudi dan Kristen adalah merupakan ‘Aulia’, yakni kongkalikong satu dengan yang lain,” tutupnya. (cr03)

Berita Terkait
News Update