MAKIN sering berinteraksi secara langsung, kian berpotensi terjadinya penularan. Jika, di antara yang berinteraksi tersebut telah terkonfirmasi atau kontak erat dengan pasien Covid-19. Sebaliknya, kian jarang bertatap muka – bertemu langsung, risiko terjadinya penularan akan semakin kecil.
Itulah sebabnya banyak ditemukan klaster keluarga atau klaster RT/RW, karena ada di antara anggota keluarga yang terkonfirmasi, kemudian menulari anggota keluarga lainnya.
Penularan klaster keluarga lebih cepat karena interaksi terjadi setiap saat dalam satu rumah. Tak hanya kuantitas , juga intensitas interaksi sangat tinggi. Tak heran, jika begitu ada satu anggota keluarga terkena Covid, dalam waktu hampir bersamaan anggota keluarga lain dalam satu rumah, hasilnya pun positif. Tak jarang, suami, istri, anak dan keponakan serta pembantu rumah tangga, semuanya terpapar Covid-19.
Kita masih ingat klaster keluarga banyak terjadi ketika kasus Covid- melonjak di negeri kita. Ada klaster keluarga mencuat pada pasca libur panjang Natal dan Tahun Baru serta Lebaran. Begitu juga klaster RT menyusul adanya kegiatan massal di lingkungan. Ada juga klaster perkantoran, pabrik dan lain – lain.
Kini, mencuat klaster sekolah, menyusul dibukanya Pembelajaran Tatap Muka (PTM), setelah sekian lamanya ditiadakan.
Hasil survei internal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, menyebutkan 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 atau 2,77 persen dari 47.005 sekolah yang mengisi survei. Dari angka tersebut, tercatat 7.287 guru dan 15.456 siswa terpapar virus corona.
Hasil survei yang dipublikasikan pada laman https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/kesiapanbelajar/ per Kamis, 23 September 202, juga menjelaskan klaster terbanyak ditemukan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) mencapai 583 sekolah atau 2,77 persen dari jumlah satuan pendidikan yang mengisi survei.
Berikutnya klaster Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebanyak 251 sekolah (1,91 persen), kemudian SMP tercatat 244 sekolah (3,42 persen), SMA dilaporkan 109 sekolah (4,55 persen) dan SMK sebanyak 71 sekolah (3,07 persen).
Melihat jumlahnya, jenjang SD yang terbanyak, tetapi melihat persentasenya, jenjang SMA yang tertinggi. SD lebih banyak, boleh jadi, karena jumlah sekolah SD lebih banyak, ketimbang SMA/SMK. Tetapi, bisa juga langkah antisipatif menghindari risiko penularan pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi akan lebih baik, ketimbang siswa SD dan PAUD.
Maknanya, pada siswa SD dan PAUD, pendampingan orangtua dan guru kepada anak didiknya terkait upaya mencegah penularan, perlu mendapat perhatian lebih. Termasuk perilaku dalam berinteraksi dengan teman – temannya selama di sekolah. Tak kalah pentingnya pengawasan dalam menerapkan protokol kesehatan.
Soal ini tentu akan menjadi kajian tersendiri bagi lembaga pendidikan, mengingat sekolah tatap muka akan terus berlanjut, sejalan dengan kian melandainya kasus Covid-19.
Kita tak ingin klaster sekolah terus bertambah, jumlah guru dan siswa yang terkonfirmasi semakin banyak. Lepas dari mana asal penularan, di mana tertular, dan kapan tertular, yang pasti upaya pencegahan harus dilakukan yang dilanjutkan dengan tracing dan treatment.
Kewaspadaan semua pihak makin dibutuhkan agar PTM tidak lagi menciptakan klaster sekolah. Bukankah sejak awal sudah diwanti – wanti? (Jokles)