SERANG, POSKOTA.CO.ID – Si kecil Fatimah (11) masih lebih memilih tetap bermain sepeda, meskipun kakanya, Fani Handayani (20), sudah beberapa kali memanggilnya untuk pulang sebenatar.
Sejak dibelikan sepeda oleh mantan suami Fani beberapa bulan yang lalu, jiwa bermain Fatimah seakan kembali hidup.
Kemana-mana Fatimah selalu membawa sepedanya, terutama ketika berangkat sekolah dan belajar di madrasah.
Sore itu, Fani memanggil Fatimah bukan tanpa sebab. Fani hanya ingin Fatimah istirahat sejenak di rumah selepas seharian ini ia belajar di sekolah.
Ditambah cuaca sore itu memang terlihat mendukung dengan hembusan angin yang merayap secara perlahan masuk ke sel pori-pori kulit.
“Emang kaya gitu mas kalau dia sudah main sepeda, suka lupa waktu. Meskipun kadang hanya bermain sendirian,” kata Fani mengawali cerita sore itu, Selasa (21/9/2021).
Setelah ditinggal kedua orangtuanya, Fatimah diurus oleh kakak-kakanya dalam satu rumah warisan dari orangtuanya yang sangat sederhana.
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, keluarga kecil Fatimah hanya mengandalkan dari penghasilan kakak tertuanya, Dahlia Fitrianingsih (23) yang bekerja sebagai buruh cuci dengan penghasilan Rp175.000 setiap minggunya.
Sedangkan suami Dahlia, hanya buruh lepas yang minim pendidikan. Penghasilan dari suaminya juga tidak tentu, tergantung dari pekerjaan yang ia lakukan.
“Kadang Rp50.000 sehari kalau lagi ada kerjaan mah, kadang juga tidak ada masukan sama sekali,” ucap Fani.
Setelah kesekian dipanggil, akhirnya Fatimah mendekat dan menyimpan sementara sepedanya di teras depan rumah.
Namun ada pemandangan baru ketika Poskota.co.id mendatangi rumah Fani kali ini.
Di depan rumahnya sudah terdapat tiga tumpukan semen yang dijadikan tempat sandaran sepeda Fatimah.
Kepada Poskota.co.id, Fani mengaku beberapa hari yang lalu ia mendapatkan bantuan sumbangan beberapa sak semen, pasir dan bata merah untuk menutup dapur yang sempat roboh terkena angin kencang.
“Iya mas Alhamdulillah kemarin ada bantuan itu. Selain itu juga ada bantuan uangnya Rp2,5 juta,” ceritanya.
Beberapa kali mendatangi rumahnya, senyuman Fatimah selalu mengembang di bibir cantiknya yang seakan menyambut kehadiran kami dengan ramah.
Pun dengan sore itu. Pada senyum manis si kecil Fatimah, seakan membawa pesan sesulit apapun beban hidup yang dijalani, harus dilalui dengan ikhlas agar bisa tetap ceria.
“Iya pak, waktu itu saya masih kecil, baru satu tahun kayanya ketika ibu meninggal,” katanya saat ditanya terkait momentum ibunya meninggal 11 tahun lalu.
Diakui Fatimah, meski usianya baru satu tahun, namun momentum kepergian ibunya tercinta 11 tahun lalu masih membekas jelas di ingatannya hingga sampai saat ini.
Fatimah masih ingat bagaimana saat itu ia menyaksikan seorang ibu tercintanya merintih menahan sakit tumor yang dideritanya.
Dari sakitnya yang menahun itulah yang mengantarkan ibunya tenang sampai di pangkuan sang Ilahi.
"Mungkin dengan cara Allah memanggil ibu, rasa sakit itu sudah tidak lagi dirasakan oleh ibu,"ucap Fatimah mencoba menahan air matanya, yang sudah menganaksungai mengenang kejadian pilu 11 tahun lalu.
Tak mau terlihat meneteskan air mata, dengan Jilbab cream-nya yang sudah terlihat kotor dan kusam Fatimah menyeka air matanya.
Jilbab itu selalu ia kenakan setiap harinya, terutama ketika bermain. Menurut pengakuannya, ia hanya mempunyai jilbab itu satu-satunya yang dipakai setiap bermain.
Kini usia Fatimah sudah menginjak 11 tahun. Meski tumbuh di tengah keluarga yang serba kekurangan, namun tekadnya untuk menggapai cita-citanya cukup kuat, menjadi seorang ustadzah sudah mendarah daging.
“Pengen jadi ustadzah yang pandai perhitungan Matematika,” ucapnya jujur.
Fatimah mengaku sejak tahun kemarin dirinya sudah meminta kepada kakaknya untuk tinggal di pondok.
Namun permintaan itu belum bisa dilaksanakan oleh kakaknya, mengingat saat ini Fatimah masih duduk di kelas 5 SD.
“Katanya nanti saja setelah lulus SD, baru mondok,” katanya.
Tinggal di pondok, menurut Fatimah, bukan berarti dirinya ingin lepas dari kesusahan hidup di rumah. Tetapi lebih kepada ingin memantapkan belajar agama agar bisa mendalaminya dengan baik.
“Kalau sekarang, kan, cuma belajar ngaji di ustadz setiap malam saja, kalau belajar agamanya paling di sekolah madrasah,” tuturnya.
Fatimah mengaku, dengan belajar agama ia bisa mendoakan kedua orangtuanya agar diberikan tempat yang layak di surga sana.
Karena gurunya di madrasah mengajarkan, katanya, salah satu doa yang pasti dikabulkan oleh Allah itu adalah doa anak yang solehah. “iya itu aja alasannya,” imbuhnya.
Selain bisa belajar ilmu agama, di sekolah SD tempatnya belajar, Fatimah mengaku lebih suka pelajaran Matematika terutama perkalian.
“Belajar matematika itu gimana yah, kaya menantang gitu. Jadi penasaran terus. Asik,” katanya.
Terakhir Fatimah berharap agar kedua orangtuanya ditempatkan di surga, serta bagi yang ditinggalkan diberikan kelapangan serta kemudahan rizki.
“Biar bisa memperbaiki rumah, biar ga bocor lagi pak,” tutupnya. (Kontributor Banten/Luthfillah)