Kondisi lapas yang terbakar. (foto: dok kemenkumham)

Opini

Lapas 'Neraka'

Kamis 16 Sep 2021, 06:24 WIB

KEBAKARAN Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Kelas I Tangerang harus diinvestigasi hingga tuntas oleh pihak kepolisian.

Lapas yang seharusnya sebagai tempat pembinaan narapidana (napi), justru menjadi tempat berbahaya bagi napi. 

Ada 41 napi tewas terpanggang di dalam sel lapas, 7 lainnya meninggal di RSUD Kabupaten Tangerang.

Kematian tragis napi ini menjadi catatan sejarah bangsa ini betapa buruknya pengelolaan lapas oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Dari data yang dihimpun Poskota, sekitar 80 persen lapas di Indonesia dihuni oleh napi narkoba.

Pertanyaan, apakah napi penyalahgunaan narkoba masih relevan dipenjara?

Jika harus dibahas akan terjadi debat kusir yang tak ada habisnya.

Tidak ada pilihan, pemerintah harus segera meninjau kembali sistem hukum narkotika nasional, yaitu UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan perubahan atas UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (PAS).

Sistem ini cenderung memenjarakan bagi pecandu narkotika, ketimbang rehabilitasi sehingga menimbulkan kelebihan kapasitas (overcrowding) dalam lapas.

Pemerintah harus berpikir untuk mereduksi jumlah penghuni lapas dengan membuat konsep untuk mengentaskan penyalahgunaan narkoba, bukan justru berpikir untuk menambah jumlah bangunan lapas.
 
Jika konsep pengguna narkoba itu direhabilitasi, dan hukuman berat diberikan kepada pengedar dan bandar narkoba, maka pekerjaan pemerintah menjadi ringan.

Satuan narkotika, Polri hingga BNN juga wajib ditinjau efektivitasnya.

Lapas Kelas I Tangerang menjadi contoh bagaimana lapas kelebihan kapasitas hingga 400 persen. 

Akibatnya, sangat mudah memantik gesekan antar napi hingga berujung keributan.

Dari penelusuran Poskota terhadap mantan napi, keributan di sel lapas kerap terjadi.

Penyebabnya beragam mulai rebutan kekuasaan hingga peredaran narkoba di dalam lapas.

Kegiatan buruk ini sudah menjadi hal umum, namun hingga kini belum ada tindakan konkrit dan mendasar dari pemerintah.

Pernyataan polisi diduga korsleting listrik juga tergolong aneh muncul 4 jam pasca kebakaran. 

Aparat kepolisian biasanya ogah mengeluarkan pernyataan dugaan ke publik jika yang terbakar menjadi atensi atau kasus besar.

Sehingga muncul kesan korsleting listrik sengaja dihembuskan untuk menggiring opini tanpa menunggu hasil dari Puslabfor Polri.

Jika memang korsleting listrik yang menjadi penyebabnya justru semakin mempertegas bahwa pemerintah harus bertanggung jawab karena telah melakukan kelalaian besar menghilangkan 48 napi dan puluhan luka bakar.

Karena itu sebagai pucuk pimpinan sudah selayaknya Menteri Hukum dan HAM ikut bertanggung jawab atas peristiwa itu. 

Mundur adalah pilihan bijak karena selain dinilai gagal memimpin, lembaga pemerintah ini juga tak becus dalam membina dan memperbaiki lapas yang semakin hari semakin krodit ke situasi berbahaya.

Disini keprofesionalan aparat kepolisian di uji untuk menyampaikan kebenaran kepada publik secara terbuka terutama keluarga korban yang tewas.

Polisi jangan terpengaruh apalagi loyo jika berhadapan dengan lembaga pemerintah.

Jika institusi Polri tidak berani membuka kebobrokan lapas ke publik, kita tinggal menunggu waktu lapas berikutnya.

Semua pihak ingin ada perbaikan lapas kedepan, menjadikan lapas sebagai tempat pembinaan yang baik bagi napi dengan mendapatkan keterampilan sebagai modal bebas dari lapas kelak.

Napi memang melakukan kesalahan namun bukan berarti mereka diremehkan apalagi dianggap sampah hingga terpanggang hidup-hidup di Lapas “Neraka”. ***

Tags:
lapas nerakaLapas Kelas 1 TangerangKebakaran Lapas Kelas 1 Tangerangtragedi kebakaran lapas kelas 1 tangerangperistiwa kebakaran lapas kelas 1 tangerang

Administrator

Reporter

Administrator

Editor