Dengan perubahan paradigma ini, mentalitas belas kasihan dieliminir dengan mentalitas membangun daya potensial yang dimiliki oleh para penyandang disabilitas. Mereka tidak butuh dikasihani, tetapi yang mereka butuhkan adalah kesetaraan dan keberpihakan.
Ditengah keterbatasan fisik, para atlit Paralimpiade menunjukkan kepada kita semua, mereka bukanlah korban pasif yang rentan, tidak berdaya dan bergantung pada orang lain. Tekad dan keberanian untuk berlaga dengan spirit mensana in corporesano terus berkumandang.
Para atlit Paralimpiade tetap berjuang dalam keterbatasannya, dan berkontestasi mengadu kecerdikan, strategi, dan stamina dalam berbagai keterbatasan fisik. Mereka tidak pernah menyerah. Karena itulah dalam hal spirit berprestasi ditengah keterbatasan, mereka layak untuk menjadi inspirasi kita.
Dalam Paralimpiade Tokyo 2020, Leani Ratri Oktila, Khalimatus Sadiyah, Hary Susanto, Dheva Anrimusthi, Suryo Nugroho, Fredy Setiawan, Ni Neng Widiasih, Saptoyogo Purnomo, dan David Jacobs menjadi pahlawan dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia.
Dengan semangat pantang menyerah, percaya pada kekuatan diri sendiri dan mandiri alias tidak bergantung kepada orang lain, mereka telah berhasil membawa pulang total sembilan medali. Walaupun Indonesia hanya berada pada peringkat ke-55, tetapi perjuangan para atlit Indonesia dalam ajang olahraga internasional menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita semua.
Perjuangan mereka mengingatkan kita akan prinsip-prinsip perjuangan Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman kolonialisme-imperialisme Belanda.
Bung Karno percaya bahwa hanya dengan prinsip self-help (mandiri) dan non kooperasi akan menumbuhkan rasa kepercayaan diri (self-reliance) bagi bangsa Indonesia untuk melepaskan belenggu penjajahan. Terbukti prinsip-prinsip perjuangan ini telah mendobrak hambatan dari para atlit Indonesia untuk meraih mimpi-mimpi mereka pada Paralimpiade 2021.
Dengan hadirnya para atlit Indonesia pada Paralimpiade 2021, seharusnya warga negara penyandang disabilitas berhak juga untuk menunjukkan eksistensi mereka di segala lini kehidupan. Para pendiri bangsa sebenarnya telah mengamanatkan dalam konstitusi yang menempatkan kesetaraan warga negara tanpa membedakan suku, agama, ras, bahasa, gender dan status sosial.
Negara wajib mengakomodasi semua warga negara termasuk penyandang disabilitas. Mereka dijamin oleh negara untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan ini bersumber dari Pancasila yang digali dari dibuminya Indonesia.
Pak Jokowi dan Ahok ketika memimpin Jakarta membuat banyak terobosan yang ditujukan untuk kepentingan warga negara penyandang disabilitas. Mereka berdua merancang ibukota negara yang ramah bagi para difabel.
Bis tingkat gratis, jalur pedestrian untuk kaum tuna netra, portal ramah disabilitas dan pengadaan fasilitas ramah disabilitas lainnya. Bahkan dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gedung di wilayah ibukota negara wajib mencantumkan ketersediaan akses bagi para penyandang disabilitas.
Keberpihakan Pak Jokowi terhadap kaum difabel juga diteruskan sampai kini dimana pemerintah berupaya agar mereka bisa dengan mudah mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan mendapatkan infrastruktur yang ramah bagi para penyandang disabilitas.