INI urusan lobang yang berakhir juga di lobang! Meski sudah punya keluarga Ngatijo, 40, berani jadikan Ngadinah, 38, sebagai WIL.
Sampai keduanya siap nikah. Tapi Ngatijo kadung cerai, Ngadinah balik ke suami. Akhirnya ketimbang jadi lebai malang, Ngatijo memilih dua-duanya masuk lobang!
Ada yang bilang, selingkuh itu selingan indah keluarga tetap utuh. Tapi namanya makan barang colongan, pastilah para praktisinya tak pernah tenang.
Atas kesadaran tersebut kemudian ada yang sepakat cerai dari pasangan masing-masing.
Tapi teori ini juga sering banyak kendala, sehingga saking pusingnya tak bisa mengatasi masalah, malah bikin masalah baru.
Nggak mau konsultasi ke Kantor Pegadaian, sih!
Sirkuit kemelut batin ini dialami oleh Ngatijo, dari Ponggok, Blitar (Jatim).
Baru saja bisa ngliwet kenthel (baca: banyak rejeki), coba-coba berinvestasi.
Tapi bukan dibelikan tanah atau emas, justru untuk beli “sawah” tak seberapa luas milik Ny. Ngadinah, warga Kademangan.
Padahal “sawah” tersebut masih milik orang lain berstatus SHM, dan jauh sebelum Presiden Jokowi bikin gebrakan sertifikasi masal.
Sejak punya WIL bernama Ngadinah, dan Ngadinah punya PIL bernama Ngatijo, mereka benar-benar happy menjalani hidup.
Ibarat menu makanan, di rumah tiap hari ketemu sayur lodeh, bersama Ngadinah si Ngatijo dapat gudeg komplit pakai sambel krecek.
Seminggu sekali atau kapan saja peluang ada, Ngadinah siap memberikan “gudeg” Blitar-nya untuk Ngatijo.
Tapi lama-lama keduanya sadar, makan “gudeg” nyolong-nyolong, tak nyaman juga.
Masih mending makan nasi gudeg lesehan di Malioboro Yogyakarta. Paling resikonya harga dikepruk atau diganggu para pengamen yang datang silih berganti.
Kalau “gudeg”-nya Ngadinah, jika ketahuan suami bisa dikepruk batu sampai wasalam, lho!
Atas pertimbangan tersebut Ngatijo minta pada Ngadinah untuk bercerai dari pasangannya.
Begitu juga Ngatijo siap menceraikan istri untuk bisa mengawini Ngadinah. Ternyata pihak Ngadinah juga setuju-setuju saja.
Pokoknya mereka siap pecah kongsi, untuk kemudian membentuk koalisi baru. Ini bukan untuk 2024, tapi sampai kapan saja, sepanjang nyawa masih di kandung badan.
Demikianlah, Ngatijo langsung menceraikan istrinya.
Tentu saja orang rumah terkaget-kaget, tak ada hujan tak ada petir kok tahu-tahu diajak ke Pengadilan Agama dan cerai.
Setelah mengantongi surat cerai itulah Ngatijo Ponggok dengan pedenya menagih janji pada Ngadinah Kademangan.
Tapi ternyata perhitungan Ngatijo meleset total.
Boro-boro Ngadinah mengantongi surat cerai, daftarkan gugatan ke PA Blitar saja belum.
Masalahnya, dia jadi ingat anak-anaknya. Jika cerai dan ganti suami, anak-anak jadi korban hanya karena emaknya mau cari enak.
“Saya nggak tega, Kang. Kita balik ke keluarga masing-masing saja, ya?” kata Ngadinah.
Sikap wanprestasi (cidera janji) Ngadinah ini bikin kecewa dan marah Ngatijo.
Situ enak, masih ada suami, keluarga utuh. Lha sini, keluarga sudah kadung berantakan kok nggak ada penggantinya.
Ini benar-benar jadi lebai malang. Ngatijo lalu memaksa Ngadinah untuk bercerai pada suami, tapi tetap menolak.
Saking jengkelnya, Ngadinah lalu dianiaya di tempat sepi hingga tewas.
Tapi setelah berhasil membunuh Ngadinah, Ngatijo baru sadar bahwa nasibnya tak hanya sekedar lebai malang, tapi bisa-bisa dikrangkeng di Lowok Waru Malang (penjara).
Takut menghadapi kemungkinan terakhir itulah, Ngatijo nekad bunuh diri dengan cara gantung diri di pohon kopi.
Polisi Polres Blitar segera mengusut peristiwa itu atas laporan warga.
Berdasarkan bukti-bukti di lapangan dan keterangan keluarga Ngadinah-Ngatijo, disimpulkan bahwa Ngatijo membunuh Ngadinah dulu, baru bunuh diri.
Rupanya dia terjebak pada rekayasa politiknya sendiri. Bikin taktik dalam urusan lobang, akhirnya keduanya masuk lobang.
Kalau mau mengatasi masalah tanpa masalah, datanglah ke Pegadaian! (GTS)