Ekonomi sehari-hari jadi beban antar besan, karena selama ini hanya ibu rumahtangga biasa bukan pegawai yang ada gaji setiap bulannya.
Padahal kedua anaknya masih semega (doyan makan). Wanita semi janda itu kemudian kenal dengan Marwoto.
Sekali kenal dengan Partini, jantungngya langsung ndut-endutan.
Lebih-lebih ketika tahu suami hilang non petrus, lebih endut-endutan lagi.
Soalnya, lalu ada peluang untuk jadi suami pengganti. Lho, kan Marwoto sudah punya anak istri.
“Halah, istri kan tak pernah dibawa-bawa, jalan terus aja Bleh.” Kata setan memberi semangat.
Sejak itu Marwoto suka memberikan sejumlah uang, untuk meringankan beban ekonomi Partini.
Padahal dalam hatinya, dia ingin pula “membebani” Partini dengan tubuhnya, barang 30 menit atau 10 menit juga nggak papa.
Tapi itu, kan, target paling akhir, sekarang sih yang penting kasih bantuan ekonomi. Bukankah pemerintah juga sering memberikan BLT pada rakyatnya.
Setelah cukup sering memberikan BLT tersebut, barulah Marwoto menampakkan jati dirinya bahwa ingin budi dibalas dengan bodi, karena tak ada makan siang gratis kecuali buat pengungsi.
Partini sendiri juga sudah lama kesepian, akhirnya dia pun siap “dibebani” Marwoto yang selama ini jadi donaturnya.
Sejak itu Marwoto jadi sering ke rumah Partini di Mataram Baru dalam rangka BLT dalam arti: Beri Langsung Timpe.