JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Di rumah petak kurang lebih 5×5 meter, Cahyo (30) tinggal bersama temannya.
Sehari-hari, ia harus bersahabat dengan tinggal berdempetan dengan kali berwarna hitam pekat yang cukup banyak sampah dan kadang bau air kali menyengat berhembus ke hidung mereka.
Di kali yang berwarna hitam itu, terdapat sebuah perahu rakitan yang terbuat dari kayu. Perahu itu sudah cukup tua. Bahkan disebut perahu legendaris di tengah Megapolitan Jakarta.
Cahyo menyebutnya perahu getek penyelamat warga untuk menyebrang dari komplek Green Garden menuju Taman Kota ataupun sebaliknya.
"Ini memberi akses jalan pintas, bantu warga sini dari komplek Green Garden menuju Taman Kota, dari Taman Kota menuju komplek Green Garden," kata Cahyo kepada Poskota.
Perahu getek itu sudah sejak lama ada dan hidup berdampingan bersama warga sekitar. Bagi Cahyo, perahu berukuran 4 meter × 10 meter tersebut merupakan salah satu penyambung hidup dirinya dan warga sekitar yang memang menjadi mata pencaharian mereka.
Ketika waktu sudah sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi, Cahyo bersama dua rekannya mulai beraktifitas. Perahu rakitannya mulai ditarik ke pinggir untuk mulai dioperasionalkan.
Tidak ada persiapan khusus saat ingin mengayuh perahu. Kata Cahyo, cukup dengan tenaga dan sarapan pagi, agar badan bugar saat mengayu perahu kayu itu.
Bermodalkan busa di tangan, ketiganya mengayuh perahu dengan cara ditarik. Satu persatu, kendaraan roda dua maupun warga, pedagang kecil, bahkan gerobak menyebrang menggunakan perahu kayu itu.
Spekaer di perahu dan sepiring cemilan serta segelas kopi menjadi pendamping mereka untuk membantu warga menyebrang.
"Ongkosnya cuma Rp1.000 untuk sekali nyebrang ke Taman Kota atau ke Komplek Garden ini," paparnya sambil memegang sebatang rokok.
Kali yang berwarna pekat, kata Cahyo, merupakan kali pembuangan. Makanya kali tersebut berwarna kehitaman dan masih terlihat ada sampah bersereka.
Petugas Suku Dinas Air Jakarta Barat kerap melakukan pengerukan pada kali. Nantinya sampah tersebut diangkat dan dibuang oleh petugas ke tempat pembuangan khusus.
Dalam sehari, Cahyo mendapatkan uang Rp150 ribu hingga Rp200 ribu atas hasil kerjanya mengayuh perahu.
Hasil tersebut kemudian dikumpulkan dan dibagi rata oleh rekannya yang sama-sama bekerja mengayuh perahu.
"Ya dicukup-cukupin aja. Kadang dapat 200 ribu, 150 ribu, itu nanti kita bagi rata sama yang lain," cetusnya.
Adanya perahu ini juga sangat mencegah angka kriminalitas disana. Kata Cahyo, jika pun ada jebatan penghubung, akan ada banyak orang yang lalu lalang dan masuk ke dalam komplek.
Orang-orang yang lalu lalang itu tidak akan terpantau oleh warga. Tentunya sangat membayahakan warga disana.
"Ini kan kalau malem perahu kita posisikan di tengah, jadi kalau pun orang mau lewat dia mau lwat mana? Karena perahu itu kalau udah di atas jam 10 malam kita tengahkan," papar dia.
Fahmi berharap, pekerjaannya sebagai pengayuh perahu karet sebagai penghubung warga untuk menyebrang dapat terus berjalan.
"Pengennya sih jalan trus usaha langgeng. Ya sedikit ada pemasukan, membantu masyarakat nyebrang kan," tandasnya. (CR01).