SAYUR lodeh bukanlah sayur biasa. Ia merupakan sayur kegemaran Bung Karno.
Begitu sukanya Bung Karno terhadap sayur lodeh ini hingga pernah diadakan semacam lomba di Gedung Agung Yogyakarta.
Ketika Ibukota Negara pindah kembali ke Jakarta pada tahun 1950, Bung Karno tidak ketinggalan membawa "juara lomba" masak sayur lodeh tersebut agar hadirlah Sayur Lodeh di meja Makan Istana Negara.
Apa yang dilakukan oleh Bung Karno dengan mengangkat sayur lodeh ke istana, dan tanpa tedeng aling-aling Bung Karno mengungkapkan hobinya makan dengan sayur lodeh tersebut tersembunyi suatu makna yang dalam tentang politik pangan Indonesia. Politik pangan, oleh Bung Karno dijadikan sebagai pilar Indonesia berdikari.
Pangan menyangkut persoalan mati hidupnya negeri. Pemerintahan negara bisa jatuh ketika tidak bisa menyediakan pangan bagi rakyatnya.
Karena itulah pangan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, dan wajib hukumnya negara hadir. Kehadiran negara ini bersifat hulu hilir.
Dari hulu, harus ada kebijakan yang bersifat progresif terkait politik agraria. Di dalamnya berkaitan dengan tata ruang, distribusi lahanlahan negara untuk rakyat petani, perlindungan lahan pertanian yang subur dan menjadi lumbung pangan.
Kegiatan penelitian benihbenih unggul, sistem irigasi, dan sistem pertanian gotong royong dengan mengintegrasikan tanah-tanah rakyat melalui pendekatan mekanisasi pertanian.
Di sisi tengah, bagaimana peningkatan kelayakan usaha pertanian dilakukan, termasuk pengolahan paska panen. Disisi hilir, kebijakan yang berkeadilan dengan memotong in-efisiensi mata rantai distribusi harus dilakukan, agar nilai tambah dinikmati petani.
Ditinjau dari kebijakan pemerintah harus ada pola terintegrasi terkait pengembangan peralatan mekanisasi pertanian, dan aplikasi berbagaiteknologi pertanian misalnya untuk memastikan ketersediaan pupuk, dan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk kimia dan pupuk organik.
Pendeknya, kebijakan hulu-hilir harus mendorong peningkatan kemampuan produksi pangan nasional dengan kemampuan menciptakan nilai tambah secara nasional.
Produk pengolahan pangan juga harus ditingkatkan, termasuk sistem logistik pangan yang mencegah berbagai bentuk permainan harga pangan di pasar.
Selain itu instrumen keuangan bagi petani jueega penting, misal melalui warehouse financing system melalui penerapan UU Resi Gudang.
Selain kebijakan terintegrasi hulu-hilir, harus ada perubahan paragdimatik terkait sektor pangan.
Sektor ini lebih dipandang inferior karena desa dianggap miskin, profesi petani dipandang tidak menarik bagi masa depan, bahkan secara psikologis kuliah di fakultas pertanian dan teknologi pertanian dianggap tidak menarik, dan semakin banyak daftar fakultas pertanian terpaksa tutup.
Semakin rendahnya minta di sektor pangan ini harus diatasi dengan berbagai insentif, perhatian dengan penuh totalitas, dan atensi besar, sebab pangan adalah penyangga keberlangsungan suatu bangsa.
Atensi khusus juga harus diperhatikan, atas kegemaran pragmatis untuk impor pangan. Sayang sekali, credo impor ini justru sering disuarakan oleh Kementerian Perdagangan yang seharusnya terdepan di dalam mengurusi perdagangan dari peningkatan ekspor, bukan sebaliknya.
Sudah sewajarnya jika kementerian ini harus merubah kebijakan perdagangannya. Kebijakan perdagangan menjadi bagian penting karena mewakili negara di dalam diplomasi perdagangan dunia agar tekanan melalui penurunan tarif bagi sektor pangan tersebut tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Berbagai regulasi global terkait pangan, karena high political content sifatnya, sering menunjukkan wataknya yang menindas. Terbukti beberapa lobby yang disampaikan oleh negara-negara maju mendesakkan kepentingannya agar Indonesia membebaskan bea masuk produk pertanian.
Dalam situasi tekanan global ini, ketika kebijakan Kementerian Perdagangan lebih bernafsu melakukan impor pangan maka hal tersebut menjadi double impact bagi sektor pertanian Indonesia.
Banyak sosok lobbies, yang menjadi agen kepentingan asing guna mendesakkan kebijakan impor pangan dengan motif memburu rente, tanpa memedulikan dampak jangka panjang berupa ketergantungan terhadap impor.
Sudah berapa lama Indonesia tergantung pada impor gandum, gula, bawang, kedelai, garam, dan berbagai hal lainya.
Silakan lihat data statistik, betapa ketergantungan impor pangan kian hari kian membesar.
Tidak berlebihan jika dalam politik pangan, progress yang dicapai tidaklah menggembirakan. Padahal Bung Karno ketika peletakan batu pertamaGedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang menjadi cikal bakal Institut Pertanian Bogor pada 27 April 1952 sudah mencitacitakan Indonesia berdikari dalam hal pangan.
Apakah gagasan Bung Karno tersebut hanya ungkapan retorik? Pasti jawabannya adalah tidak. Pangan baik bersumber dari pertanian, perikanan, kelautan, dengan variasi makanan yang luar biasa ragamnya, sangat memenuhi syarat bagi Indonesia untuk berdikari.
Karena itulah mentalitet yang hanya sekedar impor, impor dan impor harus diubah menjadi kapabilitas berproduksi sendiri. Kegiatan penelitian didukung oleh laboratorium pengembangan benih dengan teknologi paling mutakhir, laboratorium teknologi pangan, laboratorium gizi, beserta pusat-pusat produksi yang berkaitan dengan teknologi pertanian menjadi syarat penting bagi loncatan kemajuan sektor pertanian dalam pengertian luas.
Harus digalakkan bahwa profesi di bidang pangan sangatlah penting bagi keberlangsungan bangsa. Sinergi lintas sektoral harus ditekankan. Selain hal tersebut, berbagai bentuk politik komunikasi dengan strategi kebudayaan yang tepat untuk mencintai makanan produksi dalam negeri harus digalakkan kembali.
Pandemi Covid-19 mengajarkan bahwa ketika dunia menghadapi krisis, maka Indonesia harus berdaulat dan berdikari. Apapun caranya, termasuk mendorong setiap warga negara untuk bangga menekuni profesi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak tersebut.
Kebanggaan pada profesi pangan, menuntut sikap hidup mencintai produk anak bangsa sendiri. Di sinilah Bung Karno dengan cara sederhana, menjadikan sayur lodeh sebagai sayur kegemaran presiden.
Melalui sayur lodeh, bisa dilihat komponen dasar berupa tujuh bahan utama: kluwih, kacang panjang, terong, daun melinjo muda, labu kuning (waluh), dan tempe. Sayur ini bisa dikombinasikan dengan daging sapi, ikan asin, krupuk, telor ceplok dll.
Keseluruhan bahan Sayur Lodeh tersebut tidak hanya memiliki makna dari varian vitaminnya, namun juga makna filosofinya. Sayur lodeh dianggap sangat tepat dimasak di tengah pandemi. Sayur lodeh dengan tujuh warna dipercaya mampu menjadi benteng di dalam menghadapi pagebluk seperti pandemi Covid-19 saat ini.
Namun terlepas dari hal tersebut, masuknya sayur lodeh ke istana, telah memaknakan seruan Bung Karno bahwa dari lidah dan perut rakyat Indonesia tidak boleh terjajah oleh makanan impor.
Urusan pangan kini telah menjadi simbol supremasi negara, dan capaian peradaban suatu bangsa. Terlebih ketika dunia dihadapkan pada perubahan iklim global.
Ada yang memerkirakan bagaimana perang masa depan akan dipicu oleh krisis yang terjadi akibat kelangkaan pangan.
Jadi Indonesia harus bersiap. Dimulai dari hal sederhana, gelorakan dan cintai makanan Indonesia dengan bumbu-bumbuan yang membentuk cita rasa makanan nusantara bercita rasa surga. Kita nikmati Sayur Lodehnya Bung Karno, sambil membatinkan Indonesia dengan kekayaan kuliner nusantara yang luar biasa. (*)