CUKUP banyak kenangan saya dengan pak Harmoko, orang tua saya sekaligus guru saya. Bahkan, sangat banyak kenangan, utamanya pesan-pesan kehidupan, pitutur luhur bagaimana menjalani hidup, apapun status dan jabatannya. Jika diceritakan semuanya bisa menjadi sebuah buku.
Yah, itulah sebabnya saya lebih menganggapnya sebagai orang tua dan suhu, bukan bos besar. Apalagi dalam beberapa kesempatan, Pak Harmoko lebih menempatkan diri sebagai guru dan mentor, bukan bos besar, owner sebuah media besar.
Meski begitu sebagai karyawannya saya tetap profesional. Patuh menjalankan tugas dan apapun yang diperintahkan. Tidak boleh melenceng apa yang telah digariskan, menjadi kebijakan, termasuk berita-berita soal politik.
Saya yang dipercaya menjadi redaktur Polkam (politik dan keamanan) saat itu, pada awal tahun 90-an, membuka peluang banyak berkomunikasi dengan pak Harmoko. Komunikasi berlanjut di era reformasi hingga Pak Harmoko masih sugeng.
Prinsip pemberitaan dan kehidupan itulah yang sering ditekankan.
Ketika saya menjadi pemimpin redaksi, pernah ditegur keras karena membuat judul yang dikatakan tidak memiliki makna. “Ini bukan judul...,” kata Pak Harmoko sambil memperlihatkan koran hari itu.
“Poskota harus punya prinsip, jangan plinplan. Kemarin begitu, sekarang begini...,” katanya.
“Itu untuk keseimbangan Pak” kataku beralasan.
“Keseimbangan bukan berarti tidak kritis...,” sela Pak Harmoko.
“Baik Pak, saya salah ambil kebijakan...,” kataku memohon maaf.
Sejenak hening. Sesaat kemudian Pak Harmoko bertanya ”Kamu sudah ngopi, Jok,” kata pak Harmoko yang selalu memanggil saya dengan sebutan nama depan (Joko dipanggil Jok).
“Tolong minta sama.. ( menyebut nama OB Poskota) dibikinin kopi pahit..”
Sambil minum kopi obrolan bergeser, tak lagi soal pemberitaan, tetapi perjalanan kuliner.
Sesekali menyelipkan pesan moral soal kehidupan. Saya menyebutkan sebagai pitutur luhur karena tak jarang Pak Harmoko mengutip pitutur para leluhur sebagai pegangan hidup, khususnya wong Jowo.
Kalau mau bersikap kritis harus total, jangan tanggung dan raguragu. Ning ojo ngawur mengko lebur-tetapi jangan lantas ngawur, nanti hancur dan celaka bagi diri kita sendiri.
“Kamu siap? Orang harus punya jati diri. Yeng wani ojo wediwedi, yen wedi ojo wani-wani.”
Filosofi Jawa ini jika diartikan secara etimologi adalah kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan berani-berani – sok berani. Ini dapat dimaknai menjadi pribadi yang memiliki prinsip, tegas, dan tidak ragu-ragu. Jika bertindak tidak setengah-setengah, harus pula mengukur kekuatan diri sendiri sebelum melakukan perbuatan, sekaligus bertanggung jawab atas risiko yang dihadapi.
Ada totalitas ketika mengerjakan sesuatu. Rasa takut dan ragu akan menjadi penghalang kemampuan dalam menyelesaikan sesuatu. Kiat yang harus dilakukan untuk melawan ketakutan adalah menyelesaikan sesuatu ke inti permasalahan. (jokles)