"Sebagaimana pernyataan saya sebelumnya, tindakan penyidik yang hanya melakukan penyidikan tindak pidana TPPO merupakan kekeliruan dalam menerapkan hukum," jelasnya.
Menurutnya kekeliruan tidak hanya dilakukan penyidik, tetapi juga oleh penuntut umum.
Pada saat prapenuntutan, penuntut umum memiliki wewenang untuk memberikan petunjuk kepada penyidik terkait penyidikan suatu peristiwa pidana, termasuk jika penuntut umum berpendapat bahwa ada dua pasal berlapis yang dapat disangkakan dan didakwakan kepada pelaku tindak pidana.
Kesalahan penuntut umum tidak dicantumkannya UU Kekarantinaan Kesehatan berakibat dapat meringankankan vonis yang diterima terdakwa.
Hal ini mengingat biasanya hakim akan memutus Terdakwa dengan pidana lebih berat jika hakim mempertimbangkan perbuatan pelaku melanggar dua delik sekaligus dibandingkan dengan hanya melanggar satu delik saja.
"Jadi surat dakwaan seharusnya tetap dibuat kumulatif dengan UU Kekarantinaan Kesehatan," urainya.
Ia menjelaskan, dalam persidangan pembacaan dakwaan yang digelar Kamis pekan lalu, selain UU TPPO, muncul juga pasal tentang prostitusi, tepatnya Pasal 296 KUHP. Pasal 296 KUHP ini bukanlah pasal yang mengatur mucikari atau orang yang mengambil keuntungan dari pelacuran. Tetapi delik tentang perbuatan memfasilitasi prostitusi, seperti mengadakan tempat-tempat pelacuran.
Hal tersebut dibenarkan menurut hukum.
Munculnya Pasal 296 KUHP dalam dakwaan mungkin memiliki maksud yang baik. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian penuntut umum, untuk menghindari Terdakwa bebas akibat sulit dibuktikannya dakwaan TPPO, sehingga dibuat dakwaan alternatif Pasal 296 KUHP;
"Walaupun, munculnya alternatif Pasal 296 KUHP, memang berkonsekuwensi dimungkinkannya penuntut umum untuk memilih TPPO atau prostitusi dalam tuntutannya nanti. Semua kembali pada integritas Penuntut Umum dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat," tuturnya. (toga)