"Pandemi ngaruh banget anjlok. Paling 50 persen. Sehari biasnaya bisa jual 80 skargnya 30 an," keluhnya.
Belum lagi di hari-hari tertentu ketika terdapat himbauan dari Satpol PP untuk menutup dagangan di pukul 9 malam.
Hal tersebut tentu membuat Atin kembali merugi.
"Satpol PP ada, jadi dibatasi bukanya. Biasanya buka jam 5 jam 9 tutup. Makanya anjlok," terang Atin.
"Makan di tempat juga dibatasi sampe jam 8. Gak boleh makan di tempat. Jaga jarak juga. Tutupnya jam 9. Tapi gak papa yang penting masih bisa jualan," sambungnya.
Belum lagi bahan yang dibuang, jadi terkesan mubadzir.
Lantaran Ronde Jahe dan Sekuteng ini berbahan basah, dalam arti semua bahan isian harus direbus, maka kekuatan simpannya pun tidak lama.
Menurutnya meskipun bisa dipanaskan, ada beberapa bahan yang rasanya akan berubah.
Jadi Ia memilih untuk membuangnya saja.
"Air Jahenya paling yang dibuang, sama Kacang Ijo. Rondenya juga harus dibuang kalau sudah direbus dan dimasukan di dalam air gula," ceritanya.
"Rasanya berbeda. Paitnya terlalu mencolok. Bisa tapi rasanya berubah. Ini ketan juga kalo ini udah dibuang," tutur Atin.
Atin menceritakan bahwa selama pandemi, dirinya bahkan pernah hanya memperoleh pendapatan Rp 200 ribu saja.