SEKARANG ini zamannya orang berdebat. Masalah yang sepele saja bisa jadi perdebatan panjang lebar. Tapi, sayang isi omongannya nggak bermutu, asal ngejeplak. Bahkan meluncur kata-kata yang nggak pantas, ngacau balau.
Kalau apa yang didebatkan itu masih sekitar cewek cantik sih lumayan menghiburlah. Walaupun itu setingan, atau apalah namanya. Misalnya, ada cewek cantik memasak di dapur pakai kayu.
Di zaman now, gitu lo, masih ada yang masak pakai kayu? Apalagi yang dimasak jengkol. Ini konten yang luar biasa dipaksakan. Jengkol, kayu bakar dan tentu saja bukan kompor gas, tapi pawon alias dapur tungku?
Kemudian meluncurlah komentar. Ada yang lebih fokus pada sang cewek cantik, ada yang ke jengkol. “Ikutan masak dong?” Lalu ada yang nyeleneh, ”Mau tuh jadi ksringetnya.” Dst.
Itu juga yang lagi ramai di pengadilan HRS, banyak kata-kata yang nggak senonoh masuk ke ruang pengadilan. Kayaknya bahasa hukum sudah nggak mampu untuk membuktikan, bahwa seseorang itu patut dihukum atau tidak. Bersalah atau nggak bersalah! Ya, buktinya, kata-kata atau kalimat yang dilontarkan mereka yang katanya ahli hukum, kayaknya kok keluar dari materi. Malah ucapan atau kata kasar yang sering didengar dari mulut anak kecil yang bertikai dengan sesamanya, ya?
Padahal kan banyak tuh bahasa hukum dalam sidang, misalnya eksepsi yang artinya terdakwa keberatan, bahwa dakwaan yang dibuat jaksa keliriu, salah alamat dst.
Ada pledoi, pembelaan, membela diri bagi terdakwa yang sudah dituntut oleh jaksa. “Itu nggak benar Pak Jaksa, saya nggak bersalah!” begitu seterusnya. Jadi nggak usah bikin istilah sendiri untuk membela diri dengan kata-kata yang nggak elok.
Percayalah, percuma kalau ngajak berantem jaksa dan majelis hakim di pengadilan. Kalau mereka jengkel, mau kasih hukuman ringan bisa jadi vonis berat. Mau?
Lebih lagi jika majelis mengeluarkan itu yang disebut ‘contempt of court’, penghinaan terhadap pengadilan. Bisa repot deh! (massoes)