JAKARTA - Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan, ketahanan pangan Indonesia di awal 2021 ini bermasalah karena Indonesia ketergantungan terhadap impor.
Untuk itu, pemerintah saat ini harus melakukan perhitungan data pangan pokok (beras) menggunakan pendekatan satuan kapita persatuan waktu, padahal tidak semua penduduk Indonesia mengkonsumsi beras.
Jika menggunakan pendekatan per kapita maka diasumsikan bayi hingga lansia mengkonsumsi beras dengan jumlah yang sama.
Baca juga: Kemandirian Pangan Berbasis Kearifan Lokal
"Selain itu, penduduk Indonesia yang tinggal di kota besar sudah banyak makan olahan sereal atau gandum untuk sarapan pagi. Terjadi diversifikasi pola konsumsi yang nyata di masyarakat,” katanya Senin (1/2/2021).
Menurut dia, salah satu faktor pendorong diversifikasi pola konsumsi ini adalah pergeseran pola kesehatan.
Banyak penduduk mengurangi konsumi makanan menimbulkan risko penyakit-penyakit seperti diabetes dan obesitas.
Baca juga: Gubernur Wahidin Halim Ingatkan Pentingnya Perkuat Ketahanan Pangan di Banten
Prima menyebut, dalam perhitungan kapita per satuan dianggap semua orang mengkonsumsi beras. Padahal faktanya tidak seperti itu.
Oleh karenanya selama ini terkait data beras selalu menjadi perdebatan karena dasar perhitungan permintaan dan penawaran menggunakan pendekatan per kapita.
"Selain itu dibutuhkan inventarisasi ulang data bulanan untuk mengetahui kembali sebaran kebutuhan beras regional. Mana daerah berkebutuhan beras tinggi, mana yang rendah,” tambah Prima Gandhi.
Baca juga: Jokowi Ajak Waspadai Krisis Pangan Sebagai Dampak Pandemi Covid-19
Dikatakannya, data inventarisasi ulang persediaan beras digunakan untuk memetakan pola ketidakseragam kebutuhan beras sampai tingkat RT dan RW.
“Data ini menjadi syarat untuk mengetahui sebaran kebutuhan beras secara presisi," ucapnya.
Setelah menginventarisasi ulang data beras presisi langkah selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah mengenjot produktivitas sektor hulu pangan.
Baca juga: Belum Ditemukan Penimbunan Kedelai, Satgas Pangan Polri Tetap Pantau Importir Dipasaran
Salah satu cara mengenjot produktivitas pangan adalah dengan mempraktikkan pertanian presisi dalam kegiatan off-farm dan on-farm.
"Praktik konsep off-farm adalah membuat sistem logistik pertanian secara digital. Penerapan teknologi block-chain akan menjamin rekam jejak dan tranparansi aliran produk pertanian dari hulu hingga hilir," bebernya.
Sedangkan, lanjutnya, untuk praktik on-farm diwujudkan dengan usaha tani presisi. Hal ini meliputi enam factor.
Keenamnya adalah pemilihan benih unggul berbasis bioinformatics, pemupukan presisi, pengairan presisi, pengendalian hama secara organik menggunakan kecerdasan buatan, penggunaan traktor otomatis, dan menyemai benih dengan robot.
Keenam kegiatan tersebut dapat dikontrol dengan aplikasi digital dari jarak jauh, sehingga pemonitoran terhadap tanaman dapat dilakukan kapan dan dimana pun.
"Agar tidak menimbulkan disrupsi, dibutuhkan regulasi yang jelas dalam mempraktikan pertanian presisi. Bentuk nyata regulasi penting diwujudkan sebelum praktik pertanian presisi menjamur dipenjuru negeri,” katanya.
Adapun bentuk praksis regulasi pertanian presisi yang penulis maksud adalah membuat peraturan terkait besaran asuransi, pajak dari proses bisnis pertanian off farm, batasan teknis penggunaan teknologi seperti frekuensi gelombang serta ketinggian teknologi drone untuk memonitor lahan pertanian, dan lain-lain. (rizal/win)