JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Harun Masiku, salah satu tersangka dan buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah satu tahun menghilang.
Buronan KPK ini menghilang sejak 8 Januari 2020 dan hingga kini masih belum ada titik terangnya.
Pengurus Perhimpunan Dosen Hukum Pidana Indonesia (Dihpa) Azmi Syahputra menilai, sangat janggal jika KPK yang selama ini dikenal handal menangkap borun dengan segala kekuatannya termasuk kekuatan lembaga negara yang mendukung belum dapat menemukan politisi PDIP itu.
Seperti diketahui, Harun Masiku terkait dalam kasus suap PAW anggota DPR RI bersama eks Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan.
Baca juga: Dirut Hutama Karya Diperiksa KPK Terkait Dugaan Suap Walikota Cimahi
"Jika KPK terlalu lama dan tidak dapat menemukan Harun Masiku, maka perlahan pikiran publik yang terbentuk 'akan menjadi liar' dan yang terburuk dapat menduga seperti 'ada kesengajaan untuk hilang atau menghilang,' atau bisa jadi dianggap pencarian KPK yang tidak maksimal, termasuk ada fakta yang ditutupi yang patut diduga ada kepentingan tertentu dilindungi," katanya, Jumat, (08/01/2021).
Padahal, lanjutnya, jika dibandingkan dalam kasus Nazaruddin eks Bendahara Umum Partai Demokrat pada tahun 2011 itu bisa kok ketangkap.
Dimana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto pada waktu itu mengatakan berhasilnya penangkapan Nazaruddin atas kerjasama yang solid dari kerja sama interpol, Polri, KPK, Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Luar Negeri.
"Jadi akses penangkapan untuk Nazaruddin sangat transparan dan informasi di publik sangat terbuka," ungkapnya.
Baca juga: Pemberi Suap Eks Mensos RI Bakal Beberkan Kasus Korupsi Bansos di Persidangan
Namun karakteristik dalam kasus Harun Masiku kasusnya cendrung lebih sulit terbuka, minim informasi guna mengungkap motif, modus pelaku pelakunya.
Termasuk mengungkap pihak pihak yang membantu Harun Masiku apalagi dengan skema pencarian dengan tipologi kejahatan seperti akan jadi sulit menemukannya. Akibat akses yang cendrung tertutup, termasuk upaya mendorong guna mengungkap agar tindak pidana ini menjadi jelas dan terang.
"Biasanya pelaku yang seperti Harun Masiku ini diarahkan untuk 'menahan diri sendiri,' agar tidak muncul kisruh (heboh) di publik lebih lebar. Dan bisa saja ada pihak yang mendesign untuk ini dan pihak pihak ini biasanya berkepentingan. Sehingga pelaku 'harus dilindungi' dan "diamankan" karenanya sulit mengungkap pelaku dengan tipilologi seperti ini," katanya.
Jadi Elit negara yang selalu menyampaikan 'bahwa Negara tidak boleh kalah dengan kekuatan penekan mana pun' tidak efektif dalam kasus ini.
"Sehingga terlihat dengan rentang waktu yang sudah 1 tahun maka akan muncul penilaian publik, dimana akan terlihat potret wajah 'penegakan hukum yang anomali,' termasuk timbulnya angggapan di sebahagian masyarakat bahwa jargon negara tidak boleh kalah tidak bisa dioperasionalkan dalam kasus Harun Masiku," ucap dosen hukum pidana universitas Bung Karno ini.
Padahal kalaupun KPK ada hambatan akibat hal hal tertentu, KPK bisa gunakan ancaman pidana bagi pihak-pihak yang mencoba menghalangi proses penegakan hukum di Tanah Air.
"Ada sanksi pidana bagi siapapapun yang mencoba menghalangi petugas penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum," katanya. (rizal/tri)