Untuk diketahui sebagai konsekuensi pelarangan ekspor bijih tambang, dalam rangka mengatur harga mineral dan bisnis domestik yang terbuka dan adil, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No.11/2020, yang merevisi permen ESDM No. 07/ 2017 untuk mengatur agar pelarangan ekspor bijih nikel ke luar negeri tidak mematikan penambang nikel lokal, dengan menjamin harga patokan bawah dan harga patokan atas yang ditetapkan sedemikian rupa, sehingga baik penambang maupun pengusaha Smelter memiliki keuntungan yang wajar.
Namun, dalam prakteknya beleid ini tidak diindahkan oleh para pengusaha Smelter asing. Mereka tetap saja membeli bijih mineral nikel dengan harga di bawah HPM, sehingga merugikan para penambang lokal, dengan alasan harga nikel dunia sedang turun. Padahal HPM yang ditetapkan pemerintah direvisi setiap bulan untuk menyesuaikan dengan fluktuasi harga nikel internasional.
Kemenko Marinvest telah membentuk Satgas untuk mengawal penerapan HPM nikel ini. Namun belum terlihat hasil yang menggembirakan. Satgas memberi waktu hingga 1 oktober 2020, agar pengusaha Smelter asing ini mengonsolidasikan diri untuk menerapkan secara penuh Permen ESDM No. 11/2020.
Sementara itu, hasil riset menyebutkan, harga nikel kemungkinan akan terus mengalami kenaikan sebanding dengan penurunan jumlah persediaan komoditas tersebut serta kenaikan permintaan nikel dari Cina seiring pemulihan ekonominya. Di samping itu, sentimen stimulus fiskal Amerika Serikat juga akan berpengaruh bagi pergerakan harga komoditas ini.
Baca juga: Lahan Bekas Tambang Jadi Wisata, Aspek Lingkungan Harus Diperhatikan
Ditambah dengan meningkatnya popularitas mobil listrik, maka permintaan nikel secara global secara langsung akan ikut tergerek. Seperti diketahui, nikel adalah bahan baku baterai yang merupakan sumber tenaga mobil listrik yang handal, karena memiliki kapasitas penyimpanan daya yang tinggi. Bahkan dengan teknologi baterai lithium-ion, yang semakin berkembang seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik, kandungan nikel dalam baterai diprediksi akan semakin besar.
Kondisi ini sangat menguntungkan Indonesia sebagai negara produsen bijih nikel terbesar di dunia. Data tahun 2019 Kementerian ESDM, total produksi nikel dunia mencapai 2.668.000 ton Ni. Dari jumlah itu, sebanyak 800.000 ton Ni berasal dari Indonesia. Disusul Filipina dengan 420.000 ton Ni dan Rusia sebanyak 270.000 ton Ni. (rizal/ys)