JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta, menyatakan ada celah liberalisasi dalam UU Omnibus Law.
Celah berbahaya itu ada dalam hal kepemilikan modal dan pengawasan. Berdasarkan UU Omnibus Law pasal 52 ayat 1 menyatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama, dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/ atau badan usaha dalam negeri.
“Undang-undang Omnibus Law ini mengubah lanskap industri pertahanan Indonesia. Sebelumnya dalam UU nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pasal 11 disebutkan bahwa Industri alat utama hanya pemerintah yang menugaskan kepada BUMN pertahanan sebagai pemandu utama untuk memproduksi industri alat utama," kata Sukamta, Jumat (16/10/2020),
Baca juga: Kemampuan Industri Pertahanan Nasional Dukung Kemandirian Alutsista TNI
Namun, katanya, kini pihak swasta bisa masuk ke industri alat utama. Permasalahan kemudian muncul ketika sebuah industri strategis bisa dikuasai oleh pihak swasta. Modal perusahaan swasta bisa saja berasal dari asing walaupun status perusahaan tersebut merupakan badan usaha dalam negeri.
Menurut anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini, kepemilikan modal menjadi krusial karena menyangkut arah, kebijakan usaha, kerahasiaan data terkait produksi alat utama pertahanan dari perusahaan swasta.
“UU OBL ini jelas akan banyak mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) khususnya dalam hal penanaman modal di bidang alat utama pertahanan," katanya.
Baca juga: Saat Orang Tua Kaget Anak Ikut Demo Omnibus Law hingga Motornya Diangkut Polisi: Nyusahin Aja!
Selama ini, katanya, sesuai dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang DNI badan usaha alat utama mensyaratkan 100 persen modal berasal dari dalam negeri. Namun dengan masuknya badan usaha dalam negeri non pemerintah maka bisa jadi tidak harus 100 % modal berasal dari dalam negeri.
"Jangan sampai niat untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri menjadi liberalisasi industri yang ujung-ujungnya pihak asing yang menikmati," ucapnya.
Doktor bidang teknik lulusan Inggris ini menyatakan kondisi dari perusahaan plat merah di bidang militer masih memprihatinkan. Minim modal, minim dukungan riset dan development, minim dukungan penjualan jadi faktor-faktor penyebab industri pertahanan Indonesia lesu darah.
Baca juga: Kerugian Akibat Demo Omnibus Law Bertambah jadi Rp65 Miliar
“Liberalisasi yang akan terjadi akibat UU OBL ini membuat BUMN bidang militer sulit berkemang. Saat ini praktis hanya Pindad yang eksis dalam industri alat utama pertahanan," katanya.
Namun, perkembangan Pindad dalam sektor bisnis terbilang biasa-biasa saja. Tahun 2019 perolehan kontrak baru Rp7,31 triliun yang menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp3.39 triliun dan laba bersih hanya Rp101,07 milliar.
Padahal pada 2019 anggaran alutsista TNI mencapai Rp11,33 triliun namun dari anggaran tersebut lebih dari 40% dipergunakan untuk membeli alutsista impor," tegas Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Polhukam ini. (rizal/ys)