​​​​​​​Jangan Kedepankan Emosi

Kamis 15 Okt 2020, 07:00 WIB

Oleh Harmoko

KITA senantiasa diajarkan untuk saling mengingatkan. Sejak kecil kita pun telah sering diingatkan oleh orangtua kita, saudara kita, teman kita. 

Tak jarang, apa yang telah kita dapat, kemudian kita teruskan (untuk mengingatkan) kepada orang lain.

Dalam bahasa Jawa dikenal istilah "getok tular", menyampaikan info secara sambung menyambung dari satu ke yang lain.

Bahkan, dalam dunia bisnis kita kenal strategi WOM yaitu Word Of Mouth (promosi dari mulut ke mulut).

Baca juga: Protokol Kesehatan Vaksin Terbaik

Tentu yang kita tularkan adalah pesan - pesan tentang kebaikan, bukan keburukan.

Kita meyakini pesan itu baik, makanya kita teruskan kepada teman atau kerabat. 

Tentu cara menyampaikannya pun sesuai kebutuhan dan pada momen yang tepat, tidak asal menyuarakan, menyampaikan.

Agama apa pun mengajarkan agar kita saling mengingatkan, disebut nasihat menasihati.

Sesuai ajaran Islam, umat manusia dianjurkan untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan dilakukan secara benar.

Ingat! Pesan dimaksud dalam hal kebaikan dan dilakukan secara benar.

Bukan dengan cara kekerasan dan mengedepankan emosi, yang bisa berakhir dengan kerusakan di muka bumi.

Baca juga: Penenang Hati di Tengah Pandemi

Bukan dengan cara memaksakan kehendak, yang notabene, tidak sesuai dengan koridor produk hukum kita. Memaksakan kehendak, apalagi sampai merusak, menyimpang dari falsafah bangsa kita yang sudah kita pedomani dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Memaksakan kehendak hingga merusak sangat tidak dianjurkan karena tak sesuai dengan norma dan adab budaya bangsa kita.

Yang dianjurkan adalah perlunya kita saling mengingatkan dalam kesabaran. 

Kita pun tahu kesabaran ada dua. Sabar terhadap sesuatu hal yang diingini (dikehendaki) dan sabar atas sesuatu yang tidak dikehendaki, tidak diingini.

Baca juga: Waspadai Perubahan Perilaku Lansia, Bisa Jadi Gejala Covid-19

Siapa yang diingatkan? Jawabnya semua yang pantas untuk diingatkan agar selalu dalam relnya, senantiasa dalam jalan yang lurus.

Bisa antara orangtua dengan anaknya, antara yang tua dengan yang muda. Antara aparatur pemerintah dengan ulama, antara pejabat dengan rakyat, bisa juga antara kita.

Dan, kita tak perlu melihat siapa yang menyampaikan pesan, dan siapa yang mengingatkan, tetapi yang penting adalah isi pesan yang disampaikan. 

Baca juga: Ojol Ipung Ratna Ikut Demo karena Tidak Diberi Bonus Lagi

Sekalipun yang menyampaikan orang awam, hendaknya disikapi dengan hati, bukan dengan emosi dan sikap arogansi.

Jangan bertanya siapa yang menyampaikan pesan, tapi hendaknya introspeksi : kenapa mereka menyampaikan pesan. 

Kalau pun pesan berisi nasihat atau kritik? Kenapa mereka  menasihati atau mengkritik kita. Itu yang perlu disikapi.

Meski pesan yang diterima, anggap saja kurang bermakna, tak ada salahnya menerimanya dengan ceria. Apalagi pesan berisi kebaikan atau menuju kebaikan, terimalah dengan suka cita.

Baca juga: Syarif: Sahabat Kita Ahok Titip Salam Buat Gubernur Anies

Ketika pesan berisi kritikan karena terdapat kekeliruan yang kita perbuat, terimalah dengan lapang dada. Terimalah dengan senang hati, bukan dengan mengedepankan emosi, sakit hati, kemudian membenci.

Ketika masalah menghampiri, tak perlu ribut mencari siapa yang salah, mencari - cari kesalahan orang lain, padahal sejatinya kesalahan ada dalam diri sendiri.

Jangan karena buruk rupa, cermin dibelah. Buruk adab, dunia yang dinista.

Hal seperti ini berlaku juga bagi mereka yang mengirim pesan, memberi nasihat atau menyampaikan aspirasi. 

Baca juga: Tempat Usaha Restoran dan Kafe Wajib Data Pengunjung dengan Aplikasi

News Update