JAKARTA – Kasus dugaan korupsi gratifikasi terkait red notice Djoko Tjandra sudah menggelinding di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dengan tersangka tiga orang, Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, Brigjen Prasetijo.
Dalam rangkaian kasus menggemparkan itu Kejaksaan Agung melalui tim jaksa penuntut umum (JPU) di Direktorat Penuntutan pada JAM Pidsus menyatakan telah menyatakan berkas lengkap atau P21 baik formil maupun materil. Selain Djoko Tjandra, tersangka lainnya adalah Irjen Napoleon Bonaparte, Brigjen Prasetijo Utomo dan Tommy Sumardi.
Guru besar hukum dari Universitas Indonesia Prof Indriyanto Seno Adji menyatakan dengan segera disidangkannya perkara tersebut, para tersangka dapat mengungkap secara terbuka dan transparan didepan pengadilan.
Baca juga: Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, Brigjen Prasetijo akan Jalani Sidang Perdana
Sinergisitas penegakan hukum antara Kejagung dan Polri diharapkan mampu mengungkap secara tuntas kasus Djoko Tjandra secara transparan dan profesional.
“Dengan P21 berkas, kasus Djoko Tjandra segera disidangkan yang dilakukan secara terbuka dan transparan, jadi Djoko Tjandra diberikan pula kebebasan untuk mengungkapkan kasusnya luas,” kata Indriyanto, Senin (12/10).
Selain ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, Djoko Tjandra juga turut tersandung kasus di Kejaksaan AgungDjoko Tjandra ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung, ia diduga berperan sebagai pemberi suap. Sehingga muncul wacana penggabungan surat dakwaan untuk tersangka Djoko Tjandra.
Baca juga: Berkas Lengkap, Djoko Tjandra Segera Disidangkan di PN Jakarta Timur
“Bentuk perbuatan berlainan walaupun sama mengenai delik suapnya. Misalnya saja Kepolisian menangani tentang dugaan suap untuk penghapusan Red Notice dan Surat Jalan, sedangkan Kejaksaan menangani dugaan Suap untuk Fatwa MA.” Tuturnya.
Menurut Indriyanto, berdasarkan KUHAP 141, penggabungan perkara Djoko Tjandra bisa saja dilakukan, tetapi hal itu menjadi kewenangan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan mempertimbangkan kepentingan pemeriksaan.
“Penggabungan perkara dimungkinkan menurut KUHAP (141), tetapi kebijakan penggabungan perkara ini menjadi kebijakan penuntut umum dengan melihat urgensinya pemeriksaan. Dengan telah dilakukan pelimpahan perkara Pinangki dan P-21 DT, penggabungan tidak menjadi urgensinya,” bebernya.