ADVERTISEMENT

Orde Baru Itu Demokrasi Semu Tahu Hasilnya Sebelum Pemilu

Jumat, 10 Juli 2020 06:30 WIB

Share
Orde Baru Itu Demokrasi Semu Tahu Hasilnya Sebelum Pemilu

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

PUTRA Cendana Tommy Soeharto kemarin bilang bahwa 22 tahun era reformasi Pemilu semakin tidak demokratis. Apa mau membanggakan demokrasi Orde Baru yang hanya semu? Yang Pemilunya belum digelar tapi sudah ketahuan siapa presiden dan parpolnya yang menang?

Di masa Orde Baru Indonesia menggelar Pemilu sebanyak 6 kali, yakni: 1971, 1977, 1982, 1987,1992 dan 1997. Dari sekian kali Pemilu tersebut, yang jadi pemenangnya selalu Golkar, dan presidennya juga Soeharto. Partai lain seperti PPP dan PDI boleh dikata sekedar penggembira belaka.

Sesuai UUD 1945 (sebelum diamandemen), mestinya presiden itu hanya boleh menjabat dua kali. Ini sesuai dengan pasal 7 yang berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Tapi karena oleh Orde Baru ditafsirkan lain, jadilah Pak Harto bisa nambah 4 periode lagi, melebihi dua periode yang seharusnya.

Walhasil, di masa itu demokrasi hanya semua belaka. Benar tiap 5 tahun sekali ada Pemilu untuk memilih anggota DPR dan presiden dan wakilnya, tapi yang jadi ya …. dia lagi, dia lagi! Banyak juga yang mengeritiknya, tapi tak pernah digubris, kalau terlalu keras bisa bernasib sebagaimana para anggota “Petisi 50”, Ali Sadikin Cs.

Harus diakui, semasa Orde Baru ekonomi anak negeri menggeliat, murah sandang dan pangan. Mulai ada pembangunan di mana-mana, sehingga Pak Harto digelari Bapak Pembangunan. Tapi orang-orang desa tidak tahu kemakmuran itu juga hanya dari dana utangan luar negeri. Di masa Orde Baru rakyat memang dijamin nyokot (makan) tapi jangan nyocot (banyak bicara).

Maka ketika jabatan lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, banyak yang diisi dari ABRI (dwifungsi), rakyat harus diam. Kepala Daerah yang menentukan juga Cendana, calon lan ketika dipilih di DPRD, hanya penggembira. Wakil rakyat di DPR tak berani mengkritisi pemerintah, karena yang vokal langsung direcal. Maka di masa itu DPR digelari “tukang ketok palu”, karena apa mau Presiden mereka cuma bilang “nun inggih kawula noknon” (iya deh).

Keadaan ini baru berubah setelah ada Amin Rais bersama mahasiswa bergerak merontokkan kekuasaan Cendana 21 Mei 1998. Indonesia memasuki era reformasi. Sayangnya memang, reformasi itu tak berjalan mulus. Partai yang terlalu ombyokan, menjadikan Indonesia gaduh terus setiap pemilihan presiden secara langsung.

Rakyat pun mulai kecewa, sehingga kemudian muncul gambar Pak Harto dengan taglin: Piye kabare, penak jamanku ta?”. Ini rupanya yang jadi pembanding Tommy Soeharto, sehingga menilai Pemilu sekarang tidak demokratis. (gunarso ts)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT