ADVERTISEMENT

Implikasi Politik Dinasti

Selasa, 22 Oktober 2013 10:14 WIB

Share
Implikasi Politik Dinasti

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

PUBLIK sedang menggandrugi topik bahasan politik dinasti. Pro-kontra mencuat kembali sejak KPK menangkap Tubagus Chaeri Wardana, adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut karena menyuap Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi. Pria  berstatus suami Airin Rachmi Diany, Walikota Tangerang Selatan, itu juga punya hubungan darah dengan sejumlah pejabat penyelenggara negara tingkat lokal hingga wakil rakyat di DPR.  Cengkraman kekuasaan sanak-keluarga  besarnya di pelosok Banten tak ada tanding. Kita katakan kembali mencuat lantaran tak beda dengan prahara politik nopotisme. Semestinya sudah kelar sejak tahun 1998. Praktek busuk itu dalam bentuk kekuasaan yang dicari, diraih, dibangun dan dipertahankan demi memfasilitasi kepentingan keluarga mengatasnamakan bangnsa dan negara. Kemenangan gerakan reformasi melahirkan ketupusan MPR RI mengharamkan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelengaraan negara. Hanya dalam tempo 15 tahun kemudian, banyak politisi kita lupa diri. Menikmati praktek kekuasaan serupa masa lalu. Demokrasi digerogoti politik dinasti. Implikasinya, kehidupan wong cilik tetap saja jauh dari sejahtera. Gubuk reot bererot di pedesaan terpencil  hingga sepanjang bantaran Kali Ciluwung, Ibukota Jakarta.  Seberang sana, penguasa kedinastian bergelimpangan harta. Mobil mewah kelas dunia berjejal digarasi rumahnya. Menurut hemat kita, keterpurukan masa kini akibat pengkhianatan amanat reformasi. Berbagai pembenaran tentang politik kedinastian sama dengan rekayasa pengabsahan nepotisme pada masa lalu. Membiarkannya berlarut-lartut bisa menjadi bom waktu. Harapan tercurah kepada saudara-saudara  kita dari kalangan elit agar segera tobat. Menyadari keleliruannya. Membangun kekuatan politik wajib menjauhi praktek dinasti. Parpol  bukan perusahaan keluarga yang dapat sesuka-suka mendudukan anak, istri, suami dan famili pada posisi penentu arah. Etika politik setingkat itu sulit diterapkan, tapi harus segera diyakini sebagai nilai keagungan bagi elit berjiwa ksatria. Parpol hanya layak menjadi kendaraan anak bangsa untuk terpilih menjadi pepajat penyelenggara negara tanpa terbentur kedinastian. Kita kalangan wong cilik yang paling merasakan pahit-gertinya,  maka pada pemilu mendatang di bilik pencoblosan tidak terkecoh menentukan pilihan. Kasus kedianstian/nepotisme yang menggurita di Banten adalah satu fakta dari sekian banyak kebohongan politisi masa kini. ***

ADVERTISEMENT

Reporter: Admin Super
Editor: Admin Super
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT