Jangan Anggap Sepele! Ini Dampak Pindar dan Paylater terhadap Kesehatan Mental

Senin 28 Apr 2025, 13:51 WIB
Ilustrasi. Dampak pindar dan paylater terhadap kesehatan mental yang perlu diketahui. (Sumber: Freepik/wavebreakmedia_micro)

Ilustrasi. Dampak pindar dan paylater terhadap kesehatan mental yang perlu diketahui. (Sumber: Freepik/wavebreakmedia_micro)

POSKOTA.CO.ID - Di era digital saat ini, layanan pinjaman daring (pindar) dan paylater telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern.

Dengan hanya beberapa ketukan di layar ponsel, siapa pun bisa mendapatkan barang atau dana dalam hitungan detik.

Namun, di balik kemudahan tersebut, ada bahaya tersembunyi yang bisa mengancam kebahagiaan dan kesehatan mental dalam jangka panjang.

Baca Juga: Diteror Pinjol Saat Galbay? Begini 3 Cara Melaporkannya ke OJK

Meskipun pindar yang digunakan resmi atau legal OJK (Otoritas Jasa Keuangan), akan tetapi, jika kondisi debitur atau nasabah tidak dapat melunasinya dalam waktu yang tepat maka berisiko menjadi tekanan mental.

Kemudahan yang Menjebak

Revolusi teknologi telah membawa pindar dan paylater sebagai solusi instan yang memikat.

Di Indonesia, layanan ini tak hanya menjangkau masyarakat urban, tetapi juga merambah hingga pelosok daerah.

Baca Juga: Terjebak Galbay Pinjol Ilegal? Ini 5 Solusi dan Cara Mengatasinya

Pinjaman online sering kali dipromosikan sebagai solusi darurat, sementara paylater menjadi opsi praktis untuk berbelanja tanpa harus membayar langsung.

Namun, kenyamanan ini kerap dimanfaatkan secara tidak bijak. Banyak pengguna yang tergoda menggunakan layanan ini bukan karena kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup konsumtif.

Akibatnya, mereka terjerat dalam siklus utang yang sulit dilepaskan.

Konsumtif dan Ketergantungan Emosional

Dikutip dari YouTube Inner Boost pada Senin, 28 April 2025, salah satu efek psikologis dari penggunaan pindar dan paylater adalah dorongan untuk terus membeli demi mendapatkan kepuasan instan.

Saat seseorang membeli barang yang diinginkan, otak melepaskan dopamin, hormon yang memicu rasa senang. Namun, sensasi ini hanya sementara.

Ketika rasa puas itu hilang, muncul keinginan untuk membeli lagi. Pola ini menciptakan kebiasaan belanja impulsif yang dapat berkembang menjadi kecanduan konsumtif.

Saat tagihan mulai menumpuk dan tidak mampu dibayar, muncul kecemasan, rasa bersalah, hingga tekanan emosional yang serius.

Fakta dan Data Mengkhawatirkan

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai transaksi pinjaman daring di Indonesia pada tahun 2022 mencapai triliunan rupiah, dengan jutaan pengguna aktif.

Sayangnya, peningkatan ini juga diiringi oleh lonjakan laporan dampak negatif terhadap kesehatan mental.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Komnas HAM dan OJK menunjukkan bahwa 60 persen pengguna pindar mengalami tekanan mental akibat tidak mampu melunasi utang.

Bahkan, 70 persen di antaranya mengaku mengalami kecemasan berat karena teror dari debt collector (DC), yang tidak jarang dilakukan secara verbal maupun dengan menyebarkan data pribadi.

Ilusi Kebahagiaan Sementara

Membeli barang impian memang bisa membawa kebahagiaan. Namun, riset menunjukkan bahwa kebahagiaan dari konsumsi materi bersifat singkat.

Ketika pembayaran jatuh tempo tiba dan bunga atau denda mulai menumpuk, rasa puas tadi berganti menjadi stres dan penyesalan.

Lebih parahnya, hal ini dapat mengubah persepsi kita tentang makna kebahagiaan.

Banyak orang mulai meyakini bahwa kebahagiaan hanya bisa didapat dari membeli barang, padahal sejatinya, kebahagiaan yang lebih tahan lama justru datang dari hubungan sosial, kesehatan, dan pencapaian diri.

Milenial dan Gen Z: Generasi Paling Rentan

Generasi milenial dan Gen Z menjadi target utama layanan pindar dan paylater. Terbiasa hidup di era digital, generasi ini sangat terbuka terhadap inovasi keuangan digital.

Mereka juga menjadi konsumen utama e-commerce, tempat di mana paylater sering dijadikan opsi pembayaran.

Namun, inilah yang membuat mereka lebih rentan terhadap jebakan utang. Survei dari Jakarta Post menyebutkan bahwa lebih dari 60 persen milenial dan Gen Z di Indonesia pernah menggunakan pindar atau paylater, mayoritas untuk keperluan konsumtif. Ini menjadi alarm akan potensi krisis utang generasi muda.

Utang dan Kesehatan Mental: Hubungan yang Serius

Utang yang tak terkelola dengan baik bisa memicu berbagai gangguan kesehatan mental, seperti:

- Kecemasan: Ketidakmampuan membayar utang menciptakan tekanan mental yang konstan.

- Stres kronis: Kondisi finansial yang memburuk mengganggu fokus dan produktivitas harian.

- Gangguan tidur: Banyak orang kesulitan tidur karena memikirkan tagihan yang menumpuk.

- Depresi: Dalam kasus ekstrem, utang bisa menyebabkan perasaan putus asa, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.

- Rasa malu dan rendah diri: Perasaan tidak mampu mengelola keuangan membuat banyak orang merasa terasing secara sosial.

Strategi Mengatasi Dampak Pindar dan Paylater

Meski situasi ini terdengar suram, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk melindungi diri:

1. Edukasi Keuangan Pribadi: Pelajari cara membuat anggaran, memahami bunga pinjaman, dan mengendalikan pengeluaran.

2. Batasi Penggunaan Pinjol dan Paylater: Gunakan hanya untuk kebutuhan mendesak, bukan gaya hidup.

3. Cari Bantuan Profesional: Jika utang mulai memengaruhi kondisi mental, konsultasi dengan psikolog bisa menjadi solusi.

4. Pola Pikir Jangka Panjang: Evaluasi setiap keputusan finansial dan dampaknya di masa depan.

5. Kelola Stres Secara Sehat: Lakukan aktivitas seperti olahraga, meditasi, atau berbagi cerita dengan orang terdekat.

Berita Terkait

News Update